Potret Jurnalistik

Karya NURDIN M. NOER : Materi didapat saat pelatihan Jurnalistik KNPI Kab. Cirebon

Reportase :

Tugas Awal Jurnalistik

 Catatan NURDIN M. NOER

Dalam dunia jurnalistik, segalanya bermula dari reporter (pelapor, pewarta). Editor yang baik bisa bekerja dengan baik, memproses berita dan mengerjakan bersama di bawah deadlines merupakan suatu kehidupan media massa, baik suratkabar maupun elektronik yang mempertemukan pembaca/pemirsa pada kebutuhan dan keinginan. Tetapi redaktur (editor) bisa bekerja dengan mereka, jika para reporter telah menuliskan beritanya.

Keberhasilan reporter ditentukan beberapa keahlian dan atribut, seperti memulai dengan integritas, melihat dengan pikirannya yang aneh serta bernafsu untuk melakukan tindakan yang akurat. Keberhasilan  mereka ditentukan oleh ketahanan (tenacity) dan agresivitas. Mereka tak pernah berkata mengenai kesopanan atau kekurangajaran (brashness), yang penting adalah bertahan secara terus menerus untuk memperoleh informasi.

Apa yang pertama kali harus Anda sikapi, ketika Anda memulai tugas sebagai wartawan ?

Jawabannya : Pergi bertugas dengan memahami apa yang harus Anda lakukan


 Ingat !

·       Deadline adalah  “tiran” yang tak bisa diimbangi dengan pendapat lain.

·       Reporter mengumpulkan informasi  dari tiga sumber :
 1.   Catatan dan dokumen.
2.   Wawancara.
3.   Pengamatan pribadi.

Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk menulis yang baik ?

Jawabannya pendek saja : “Kecerdasan dan kemampuan dalam mengorganisasikan kalimat secara detail. Sebab menulis merupakan suatu keahlian dan sebuah proses.”


Bagaimana Anda melakukan wawancara ?


Wawancara merupakan bagian yang sangat penting dari tugas-tugas jurnalistik. Dari wawancara seorang reporter bisa mengumpulkan bahan informasi sekaligus menyimpulkan peristiwa yang terjadi. Wawancara bukan sekadar “tanya-jawab.”


Beberapa tip yang diperlukan untuk wawancara


1.         Sebelum Anda membuka wawancara, mulailah dengan pembicaraan santai dan sedikit bersendagurau.
2.         Sejak awal, jawaban dari berbagai pertanyaan yang Anda ajukan sebaiknya sudah Anda ketahui.
3.         Pada sejumlah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, Anda bisa sedikit menjelaskan detail khusus dari suatu peristiwa untuk kepentingan pembaca dan tulisan berita Anda.

4.         Anda harus bisa memahami jawaban yang diberikan dari sumber berita Anda.

5.         Bagi jawaban pertanyaan yang bersifat “buka-tutup”, yang tak bisa dijawab dengan ya atau tidak. Jawaban pertanyaan “buka tutup” seringkali lebih dinyatakan.
6.         Perhatikan peluang untuk jawaban “mengapa” atau “bagaimana”. Kejar dengan pertanyaan yang serupa tapi tak sama.
7.         Gunakan teknik penceritaan dengan menanyakan “bagaimana” dan “mengapa”.
8.         Jika jawaban pokok masih belum terjawab tuntas, ajukan lagi pertanyaan yang serupa.
9.         Gambarkan satu hasil riset tertentu sebelum melakukan wawancara dan tanyakan : “Bagaimana pandangan Anda tentang itu ?”
10.Lakukan jeda sejenak saat wawancara mencapai puncaknya.
    11.Ucapkan “terimakasih” atas segala jawaban yang diberikan narasumber, sebelum wawancara berakhir.
    12.Catat atau rekam seluruh pembicaraan saat wawancara berlangsung.

Sumber : Handbook for Journalists, Malcolm F. Mallette/editor, World Press Freedom Committee.

Penulisan Berita Lempang

(Straight News)

                 APA itu berita ?  Sebuah berita selalu menyediakan informasi penting mengenai peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan disampaikan dalam bentuk yang standar (baku). Penulisan berita lempang (straight news) tidak bertele-tele, terang, padat dan tidak multitafsir.
Tujuannya adalah untuk  menyampaikan peristiwa penting kepada masyarakat luas secara cepat.  Ingat, saat ini informasi telah menjadi bagian  yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia sehari-hari.
          Apakah setiap informasi bisa ditulis menjadi berita ? Jawabannya “Ya. Apapun bisa.”  Suatu berita yang baik harus memenuhi unsur  “5 W + 1 H”.   What (apa) ?  Who (siapa) ?    Where (di mana) ? When (kapan) ? dan Why (mengapa) ? dan How (bagaimana/berapa) ?

What  : Apa yang terjadi ?
Tujuannya adalah mencari perhatian pembaca, juga yang akan Anda siarkan bisa dibaca dan dilaporkan sebagai isu Anda.

Who  : Siapa yang menjadi pokok berita ?
Seharusnya mereka diidentifikasi dan  digambarkan. “Siapa” bisa dimungkinkan, mengenai pribadi, kelompok, peristiwa dan  kegiatannya.

Where : Di mana peristiwa itu terjadi ?
Tempat atau lokasi bisa menjadi perhatian khusus – termasuk denah dengan petunjuknya. Buatlah  kemudahan untuk liputan peristiwa Anda.

When   : Kapan peristiwa itu terjadi ?
Tanggal, hari, pekan dan waktu terjadinya peristiwa harus  jelas. 

Why :  Mengapa peristiwa itu terjadi ?
Ingat, teras kalimat  atau berita utama sebaiknya ditulis  untuk memancing perorangan untuk membaca atau mendengarkan berita yang Anda tulis.

How : Bagaimana latarbelakang pertistiwa itu ?

          Apa model terbaik untuk penulisan berita lempang ?  Buatlah penggalan-penggalan kata. Kalimat dan paragraf sebaiknya singkat. Anda harus bisa memindahkan mata para pembaca untuk beralih secara cepat dan mudah pada halaman tersebut.
          Mulailah dengan teras kalimat  (pandangan utama yang paling penting),  memperluas dalam membuka wawasan Anda lebih dari sekadar informasi dan detail pada pesan-pesan yang penting.  Dalam kata lain, menulis berita sama dengan model klasik “piramid terbalik”.

          Utamakan  teras berita (lead) pada masalah-masalah yang penting. Seperti, apa, siapa, di mana dan kapan.  Berikutnya baru pada mengapa dan  bagaimana.






Berikan Jawaban terhadap “5W + 1 H”
           Seringkali Anda tidak akan mengetahui hingga Anda melihat berita Anda dicetak. Jika Anda menaruh lebih banyak informasi penting dalam headline (berita utama), ikuti “5 W + 1H”, jelaskan secara khusus, dan  terperinci pada kalimat-kalimat dalam paragraf, Anda telah melakukan perubahan yang baik dan berhasil. Ingat, sebuah berita kerapkali dicetak  dari hasil liputan Anda, dengan  penyuntingan redaktur secara ketat dari atas  hingga bawah.

          Setelah Anda menuliskannya, lakukan kembali perbaikan hingga Anda bisa memastikan pikiran Anda masuk di dalamnya. Tak usah khawatir  (takut) pada perubahan teras kalimat. Lakukan cek hingga Anda yakin telah menjawab “5 W + 1H” tersebut pada peristiwa yang Anda tulis. Sangat memungkinkan Anda melakukan percobaan dengan membuat berita  yang menggairahkan dan dramatis terhadap fakta-fakta yang penting.
         
Bisakah saya membuat berita
 mengenai pribadi seseorang?

                Mengapa tidak ? Berita yang Anda tulis itu biasanya disebut “profil” atau istilah lain sesuai selera media yang menyiarkannya. Sudah tentu cara penulisan berita semacam ini memiliki model yang berbeda dengan penulisan “berita lempang” atau “straight news”.
          Cobalah Anda amati orang-orang di sekitar Anda. Mungkin ia seorang dosen, guru, murid berprestasi, ketua organisasi siswa, manajer pendidikan, atau pribadi menarik lainnya. Catat nama-nama mereka dan mencari tahu mengenai latarbelakang mereka. Datangi mereka dan wawancarai.
          Teliti nama-nama tersebut. Teliti gelar dan  ejaannya, karena ini merupakan model pendekatan pribadi yang memiliki daya tarik.
Bagaimana Anda mengirimkan berita ?
               Anda bisa menyampaikan tulisan berita Anda pada redaktur yang memiliki perhatian terhadap masalah itu. Pada saat yang sama, Anda sebaiknya mengumpulkan informasi mengenai  kios tempat penjualan suratkabar.  Ikuti pertanyaan yang menolong Anda dalam mengumpulkan informasi :
·      Siapa yang menentukan berita itu akan dimuat ? Sebutkan nama, jabatan dan gelarnya.
·           Siapa yang menentukan terhadap ketidakhadiran (absen) orang itu ?  Sebutkan nama, jabatan dan gelarnya.
·              Apakah ada seorang reporter yang menulis isu-isu tertentu ?  Siapa namanya ?
·              Kapan, tulisan/berita tersebut dimuat ?
·              Sejauhmana kemajuan yang diperoleh pada setiap peristiwa (berita) yang dipajang di kios-kios koran  disampaikan ?
·      Apakah tipe suratkabar pada kios itu  disambut  dengan  sangat antusias ?  Mereka membuat latarbelakang informasi, fotografi, slide berwarna, tape recorder dan tape video ?  Apa pula manfaatnya ?

Jangan lupa mengumpulkan seluruh keperluan, telefon dan nomor fax. Juga pelajari nama-nama sekretariat (berbagai organisasi/lembaga) dan segera kenali mereka.

Bentuk standar untuk sebuah penulisan berita atau artikel sebagai berikut :
o   Berita atau artikel ditulis dalam sehelai kertas putih biasa, biasanya menggunakan ukuran kertas standar bisnis di tempat Anda berada. Sangat baik, jika Anda menerakan kop pada amplop surat yang siap dikirimkan. Hal ini akan membantu identitas organisasi/lembaga Anda sebagai sumber berita.
o   Lebar batas tepi surat dengan teks biasanya berkisar antara 38 hingga 40 milimeter. 
o   Jika alamat Anda tidak diterakan pada kertas yang digunakan, kemudian tik secara lengkap alamat pada bagian atas-kiri halaman surat. 
o   Nama untuk kontak pribadi ditulis di bawah tanggal siaran pers, dan  nomor kontak telefon, selayaknya  dituliskan.
     Kutipan : naskah aktual dalam tulisan berita diawali pada baris pertama-ketiga.
o   Mulai dengan berita utama (headline). Tik dengan kata-kata yang segar pada margin sebelah kiri.  Tulis judul dengan huruf besar atau tebal.
o   Pengetikan dilakukan dengan jarak spasi ganda.
o   Paragraf kemungkinan bisa ditandai pada baris pertama. Standar spasi digunakan di antara paragraf.
o   Sangat baik menulis berita dengan satu atau dua halaman lebih. Tik (tulis) simbol  *** atau ### pada bagian bawah halaman akhir, jika telah selesai menulis berita.

Contoh berita lempang

 Dugaan Penggandaan LJKS
Bentuk Pembodohan Siswa

          KEJAKSAN, (MD).

Dugaan penggandaan lembar jawaban kerja siswa (LJKS) yang dilakukan guru pada pelaksanaan ujian nasional (UN) siswa kelas III sebuah SMA, 10 sampai 14 Mei 2004, merupakan bentuk pembodohan terhadap siswa.
“Penggandaan LJKS pada UN yang dilakukan guru sama saja dengan membodohi siswa. Percuma kalau sebelumnya siswa dicekoki dengan berbagai soal latihan sebagai persiapan menghadapi UN, tapi pada pelaksanaannya LJKS digandakan,” kata Ketua PGRI Kota Cirebon Drs. Agung Prabowo, M.Pd menanggapi adanya dugaan “penggandaan” LJKS, Minggu (23/5) di kediamannya.
Sebagai  Ketua PGRI dirinya merasa prihatin adanya dugaan kebocoran UN SMA di Kota Cirebon. Selain berakibat pada pembodohan siswa, tindakan itu telahmerusak nama baik pendidikan Kota Cirebon.
“Terus terang selaku Ketua PGRI saya merasa prihatin adanya dugaan pembocoran atau penggandaan LJKS pada UN SMA di Kota Cirebon. Bagaikan tersambar petir di siang hari,” ujar Agung.  (C-23).***



Teknik Penulisan Berita Pendalaman

(Depht News)


·        Menulis berita pendalaman (depth news)  sebenarnya hampir sama dengan pola penulisan lainnya, seperti features, opini dan tajuk rencana.

·        Tetap menggunakan rumusan 5 W + 1 H.

·        Berita pendalaman lebih mengetengahkan penggalian berita di balik peristiwa.

·        Lebih jauh lagi “pendalaman berita” ini mengarah pada penyelidikan (investigasi) mengenai suatu peristiwa.

·        Peristiwa-peristiwa mengenai “mega korupsi”, konflik di suatu daerah, peristiwa ekonomi, kasus kriminalitas dan sebagainya merupakan isu-isu yang bisa diketengahkan untuk didalami.

·        Tujuannya : agar pembaca lebih memahami persoalan tersebut secara detail. Karena itu wartawan yang melakukannya pun harus memiliki kualifikasi “spesialisasi” atau disiplin ilmu tertentu yang benar-benar dikuasainya.

·        Investigative reporting bisa mencapai cakupan yang jauh lebih luas dan juga dapat menjangkau pelaporan tafsiran mendalam (interpretative in-depth reporting).



·        Biasanya, perhatian lebih banyak juga diberikan pada ilustrasi berita-berita investigative dengan berbagai foto yang baik, gambar, grafik, sketsa dan peta.

·        Wartawan bisa bersikap seperti detektif yang melakukan penyamaran  tanpa harus membuka identitasnya di depan publik. Hal ini dinyatakan sah sesuai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang menyatakan, “Wartawan Indonesia dalam memperoleh informasi dari sumber berita/narasumber, termasuk dokumen dan memotret, dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, kaidah-kaidah kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.”

·        Beberapa reporter dan redaktur terbaik ditugaskan untuk menangani proyek investigative itu, karena hal tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk jurnalisme paling sulit yang harus dikerjakan dengan berhasil (Al Hester, Pedoman untuk Wartawan).

·        Isu-isu yang biasa dilakukan wartawan untuk melakukan investigative reporting, antara lain :

Kerusakan lingkungan –
v Menyangkut perkembangan kendaraan bermotor, sehingga makin tingginya muatan timbal di sekitar kita.
v Penggundulan hutan.
v Masalah kebutuhan air bersih.

Kesehatan
o   Penyakit yang disebabkan virus yang mematikan, seperti HIV/AIDS, SARS dan sebagainya.
o   Penyakit hewan ternak gila yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
o   Pencegahan penyakit TBC, jantung dan hepatitis.

Hukum/kejahatan
v Korupsi di lingkungan pemerintahan.
v Melacak gembong kejahatan.
v Mafia peradilan.

Kebudayaan
v Terkikisnya budaya lokal yang digantikan dengan makin kokohnya budaya dari luar.
v Perilaku masyarakat yang menyimpang dari tradisi baku.
v Perubahan gaya hidup masyarakat.

Ekonomi
v Kemiskinan.
v Pengembangan dunia usaha.
v Pertumbuhan ekonomi yang sangat lambat.
v Prospek (masa depan) ekonomi suatu daerah.
v Tingkat urbanisasi.

Gender
o   Aktivitas kalangan perempuan.
o   Isu persamaan hak, poligami dan gaya hidup perempuan modern.
o   Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luarnegeri.
o   Seks bebas di kalangan remaja dan pelajar.
o   Dsb.

o   Hampir semua media massa, seperti televisi, radio, suratkabar dan majalah berita menyediakan ruangan untuk “laporan selidikan” (investigation report). Biasanya disediakan lebih luas dibanding rubrik-rubrik lainnya.

o   Tugas investigasi lebih rumit dan membutuhkan kecakapan tersendiri, karena itu hanya kalangan reporter dan redaktur terpilih saja yang bisa melakukan tugas ini.

Sumber : Finding Your Public Voice, Information US Agency, 1999.






TEKNIK WAWANCARA

Tujuan  Wawancara

          Sangat  banyak  peristiwa  yang  terjadi  tanpa  wartawan  sempat  menyaksikannya  sendiri.  Lewat  wawancara  wartawannyalah  surat  kabar atau media elektronik akhirnya  dapat  memberitakan  peristiwa  demikian.
Seringkali  wartawan  sempat  menyaksikan  suatu  peristiwa  dari  awal  sampai  akhir. Tapi  bahan  yang  diperolehnya  belum  lengkap.  Seringkali  pula  wartawan  merasa  perlu  --malah  harus--  mencek  kembali  kebenaran  bahan  yang  telah  diperolehnya  untuk  melengkapi  dan/atau  mencek  kembali  bahan  yang  telah  diperolehnya.  Wartawan  harus melakukan  wawancara.
          Adakalanya  suatu  peristiwa  berlangsung  di belakang  pintu  tertutup.  Wartawan  tidak  boleh  menghadirinya,  tapi  ia  harus  mewawancarai  orang-orang  yang  hadir  pada  peristiwa  itu.
          Berita  atau  feature  mengenai  suatu  penemuan  baru,  mengenai  prestasi  seseorang,  atau  mengenai  suka-duka  seseorang,  atau  riwayat  hidup  seseorang,  umumnya  punya  daya  tarik  cukup  kuat 


bagi  banyak  pembaca.   Untuk  dapat  menyajikan  berita  atau  frature  demikian,  wartawan  harus  melakukan  wawancara.
          Wawancara  erat  pula  kaitannya  dengan  kode  etik  jurnalistik,  khususnya  ketentuan  yang  diwajibkan  wartawan  meneliti  kebenaran  suatu  informasi  sebelum  menyiarkannya.  Ketentuan  yang  mewajibkan  wartawan  melakukan  chek  and  rechek.   Dan  untuk  memenuhi ketentuan  tersebut,   wartawan  harus  melakukan  wawancara.
           Wawancara  merupakan  landasan  bagi  pencarian  dan  mengumpulkan  bahan  berita. ”Dari  wawancaralah  berita  lahir”,  kata  William Metz,  yang  lalu  menegaskan,  ”Anda  dapat  menjadi  seorang  reporter  yang   baik,  sekalipun  bukan  penulis  berbakat.  Tapi  anda tidak bisa  menjadi   reporter  yang  baik  tanpa  memiliki  kemampuan  berwawancara  secara  baik”.


Macam-macam  wawancara

Berdasarkan  tujuannya

1.       Wawancara  berita 
          Wawancara  berita  atau  ”news  interview”  dimaksudkan  untuk  memperoleh  bahan  berita  dan/atau  dalam  rangka  melakukan  chek  and  rechek  bahan  berita,  baik  yang  faktual  maupun  yang  bersifat  opini.  Yang  faktual,  misalnya  keterangan  orang-orang  yang  mengalami  atau  menyaksikan  suatu  peristiwa.  Yang  bersifat  opini,  misalnya  pendapat  atau  tanggapan seseorang   tentang  suatu  peristiwa  atau  masalah.

          News  interview  kita   lakukan  biasanya  :

a.                 Jika  kita  perlu  memberitakan  suatu  peristiwa  yang  tidak  sempat   kita  saksikan  karena kita  memang  tidak  mengetahui  sebelumnya,  bahwa  peristiwa  tersebut  akan  terjadi.  Misalnya,  peristiwa pembunuhan,  penggarongan dan sejenisnya.

b.                 Jika  kita ingin memberitakan  suatu   peristiwa  yang  berlangsung di  belakang  pintu  tertutup.   Misalnya  apa  yang  dibicarakan  dan  diputuskan  dalam  sidang  kabinet.
c.                  Jika  kita  perlu/harus  melengkapi  bahan  berita  yang  sudah  kita  peroleh.
d.                 Jika  kita  perlu/harus  melakukan  chek  and   rechek  dalam  rangka  meneliti  kebenaran  informasi  yang  diperoleh.
e.                  Jika  kita  perlu memberitakan  tanggapan  seseorang  atau  beberapa  orang  mengenai  suatu  peristaiwa  atau  masalah  yang  telah  atau  yang  belum  kita  beritakan.


2.       Personality  interview
     Personaliti  interview  biasanya  kita  lakukan,  jika  kita  hendak  menulis  feature  baik  profile   atau  personal  feature,  ataupun  adventure  feature,  bahkan  juga  historical feature.  Profile  atau  personal  feature,  adalah  misalnya  kisah  keberhasilan  seseorang.  Adventure  feature,  adalah   misalnya  kisah  seorang  yang  selamat  dalam  peristiwa  jatuhnya  pesawat  terbang,  atau  kisah  pengalaman  anggota  SAR  waktu  mencari  orang  yang  hilang  di  gunung  yang  berhutan  lebat. Historical  feature  dalam  kaitan  personality  interview,  adalah  feature  tentang  riwayat  hidup  seseorang.

     Adapun   tokohnya  bisa  seseorang  yang  menduduki  jabatan  penting.  Misalnya  personality  interview  untuk  menulis  personal feature  mengenai  diri  seorang presiden atau siapa pun. Bisa  juga  seseorang  yang  terkenal  karena  profesinya,  misalnya  bintang  film.   Tapi  juga  seseorang  yang  sebelumnya  tidak  dikenal,  namun  tiba-tiba  menjadi  pusat  perhatian  umum,  karena  misalnya  melakukan  suatu  jasa;  umpamanya  seorang  anak  gembala  di  desa,  yang  dengan  suatu  cara   berhasil  meyakinkan  masinis  kereta api  agar  menghentikan  kereta   apinya,  karena  di  depan  ada  bagian  rel  yang  terbawa  longsor.

BERDASARKAN  PELAKSANAANNYA

1.  Wawancara  yang   direncanakan

     Personality  interview  bisa  kita  lakukan  dengan   merencanakannya  lebih  dulu,  dan  sebaiknya  memang   kita  rencanakan  lebih  dulu.  News  interview  pun sering  kali  bisa  kita  lakukan  dengan  memberitakan  pendapat  tokoh-tokoh   tertentu  mengenai  suatu  permassalahan.  Kita  tentukan  topiknya.  Kita  rencanakan  siapa  saja  yang  hendak  kita  wawancarai.   Kita  susun  pokok-pokok  pertanyaan  yang  akan  kita  ajuka. Kita  hubungi  orang-orang  yang  hendak  kita  wawancarai  itu,  untuk  meminta  kesediaannya.

2.     WAWANCARA  MENDADAK
Wawancara  mendadak atau casual  interview  kita  lakukan  tanpa  merencanakannya  lebih  dulu, misalnya  kita  memperoleh  informasi  bahwa  gaji  pegawai  instansi  anu  dirampas  oleh  komplotan  penodong  ketika  sedang  dibawa  dari  kantor  bendaharawan  negara.  Kita  cepat-cepat  mendatangi  tempat  kejadian.  Jika  mereka  masih  ada  di  tempat  kejadian,  kita  wawancarai  petugas  instansi  anu  yang  membawa  uang  tadi  dari  KBN (Kantor Bendahara Negara).  Kita  wawancarai  saksi-saksi  mata.  Jika  petugas  pembawa  uang  dan  petugas-petugas  kepolisian  sudah  berangkat  ke  kantor  kepolisian,  kita  kejar  mereka  ke  sana,  dan  kita  usahakan  mewawancarainya.
          Kita  bisa  pula  melakukan  casual  interview  dengan  seorang  pejabat  atau  tokoh  ketika  kita  menghadiri  suatu  resepsi.  Jamuan  makan  atau  acara  lain.  Misalnya  kita  bertugas  menghadiri  suatu  resepsi .  Kita  lihat  gubernur  hadir.  Kita  teringat  pada  sesuatu   yang  perlu  kita  tanyakan  kepada  gubernur.  Kita  bisa  melakukan  casual  interview.  Ini  bisa  dengan  mudah  kita  lakukan  pada  kesempatan  resepsi  berdiri.  Casual  interview  agak  sulit  kita  lakukan  pada  resepsi  duduk.  Adalah  tidak  sopan  tentunya,  jika  kita  nyelonong  begitu  saja  ke  tempat  gubernur  duduk.  Harus  kita  cari  dan  tunggu  kesempatan  lain.

3.     WAWANCARA  TERTULIS

          Ada  kalanya  kita  harus  melakukan  wawancara  secara  tertulis,  karena  memang  ada  orang-orang  yang  hanya  bersedia  diwawancarai  secara  tertulis.   Pertanyaan  kita  ajukan  secara  tertulis,  dan  jawaban  pun  akan  diberikan  secara  tertulis  pula.  Kelemahan  dari  wawancara  tertulis,  kita  tidak  bisa  mengembangkan  wawancara  itu  dengan  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  baru.
          Tapi  ada kalanya  orang  yang  hendak  kita  wawancarai  hanya minta  kita  mengajukan  dulu  pertanyaan-pertanyaan  secara tertulis.  Dalam  wawancara  jenis  ini  kita  masih  berkesempatan  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  baru  yang  kita angkat  jawaban  yang  diberikan.


4.       WAWANCARA  LEWAT  TELEFON
          Kita  bisa  boleh  melakukan  wawancara  melalui  telepon.  Keuntungannya  yang  pasti  kita  tidak  usah  membuang-buang  waktu  untuk  perjalanan  bolak-balik.  Lagi  pula  perhatian  orang  yang  kita  wawancarai  akan  banyak  tertumpah  pada  pembicaraan  dengan  kita.

          Tapi  wawancara  melalui  telefon  hendaknya hanya  kita  lakukan :
a.           Jika persoalan  yang  kita  tanyakan  tidak  terlalu  kompleks, tidak
Terlalu  banyak  statistik  atau  bahkan  pengejaan  nama.
          b.      Jika  pertanyaan  yang  hendak  kita  ajukan  tidak  terlalu  banyak.        
            c.    Jika  orang  yang  bersangkutan  sedang  berada  di  luar  kota  dan  jaraknya  cukup  jauh.  Misalnya  kita  di  Cirebon,  sedangkan  yang  perlu  kita  wawancarai  adalah  gubernur  Maluku  yang  pada  saat  itu  sedang  berada  di  posnya  di  Ambon.
          Kita  hendaknya  tidak  melalui  telefon,  jika  kita  mengadakan  personality  interview.  Wawancara  melalui  telepon  hendaknya  kita  batasi  pada  news  interview.
          Ada  jenis   wawancara  melalui  telefon  yang  khusus. Kadang-kadang  ada  pembaca/pemirsa  secara  suka  rela  menelefon menyampaikan informasi. Percakapan  kita  dengan  pembaca/pemirsa  tersebut  adalah  juga  wawancara.  Tapi  informasi  yang  diberikannya  jangan  kita  telan begitu  saja.  Kita  haarus  melakukan  recheking.  Bahkan  segera  setelah  percakapan  selesai,  hendaknya  kita  menelefon  nya kembali, untuk  mengetahui  apakah  ia  tidak  menggunakan  alamat  palsu.  Karena  itu  sebelum  percakapan  putus,  harus  kita  tanyakan  nomor  telefon (bukan hp)  dan  alamatnya.


5.       KONFERENSI   PERS
          Konferensi  pers  hakikatnya  adalah  wawancara  juga,  tetapi  secara  massal,  karena  dihadiri  oleh  banyak  wartawan  dari  berbagai  surat  kabar,  kantor  berita,  majalah, radio  dan  televisi bahkan cyber.  Dengan  demikian  dari  konferensi  pers,  kita  tidak  bisa  memperoleh  keterangan/atau  infomasi  eksklusif,  sebab  didengar  oleh  semua  wartawan. Namun  demikian,  harus  kita  usahakan  untuk  hadir  pada  konferensi  pers tersebut.  Apa  lagi  jika  kita ketahui  yang  akan  memberikan  keterangan  adalah  pejabat  atau  tokoh  penting.  Ketidakhadiran  kita  akan  menyebabkan  media  kita tidak  bisa  memberitakan  permasalahan  yang  menjadi  topik  dalam  konferensi  pers bersangkutan.  Dan  ini  akan  mengecewakan  pembaca.
          Lazimnya  dalam  konferensi  pers  ada  pembatasan  jumlah  pertanyaan  yang  diajukan  oleh  setiap  wartawan.  Bahkan  ada kalanya  satu  wartawan,  satu  pertanyaan.  Karena  kita  harus  mempersiapkan  pertanyaan  yang  baik,  yang  sekiranya  bisa  memancing  jawaban  yang  mengait  berbagai  aspek  dari  permasalahan yang  menjadi  topik  dalam  konferensi  pers  tersebut.  Hindari  pertanyaan yang   hanya  memancing  jawaban  ”ya”, atau ”tidak”.
          Mungkin  juga  dalam  konferensi  pers  tidak  ada  pembatasan  jumlah  pertanyaan  yang  diajukan  oleh  setiap  wartawan.  Gunakanlah  kesempatan  demikian   sebaik-baiknya  tapi  jangan  pula  menyita  waktu    terlalu  banyak.  Berikan  kesempatan  kepada  wartawan-wartawan  lain  justru  memancing  keterangan  yang  lebih  penting,
          Pertanyaan  yang  sangat eksklusif  sebaiknya  kita simpan dulu,  jangan  kita  ajukan dalam  forum  konferensi  pers.  Usahakan  mendapat kesempatan  omong-omong  empat mata  dengan  orang  yang  memberikan  keterangan  pada  konferensi  pers  itu.  Jika  kesempatan  demikian  ada,  ajukanlah  pertanyaan  eksklusif  tadi.  Jika  kesempatan  tidak  kita  peroleh,  dan  memang  biasanya  sulit  kita  peroleh,  cari  kesempatan  lain  secepatnya.
          Agar   berita  kita  ada  juga  bedanya  dengan  yang  disiarkan  media lain  jika  waktu  masih  memungkinkan,  usahakan  mewawancarai  satu  atau  lebih  sumber  lain.  Gali  dari  mereka  tanggapan  terhadap permasalahan  yang  menjadi  topik  dalam  konferensi  pers  tadi.  Atau  gali  informasi  tambahan  dari  mereka.


PERSIAPAN
PERMINTAAN  KESEDIAAN
          Pekerjaan  wartawan  memang  berlomba  dengan  waktu.  Seringkali  wartawan  mewawancarai  seseorang  dalam  waktu  secepatnya.  Itu  tidak  berarti  wartawan  boleh  sekehendaknya  sendiri  menyerobot  waktu  orang  yang  hendak  diwawancarainya.
          Jika  hendak  mewawancarai  seseorang,  ajukan  permintaan  dengan  sebaik-baiknya.  Jangan  main  serobot.  Jika  kita  terdesak  oleh  waktu,  jelaskan  hal  itu  secara  baik-baik,  dan  yakinkan  yang  bersangkutan  bahwa  keterangannya  sangat  kita  perlukan.
          Jika  tidak  terdesak  oleh  waktu,  ajukan  permintaan  kita  beberapa  hari  sebelum  hari  yang  kita  rencanakan.  Rundingkan  baik-baik waktu yang  paling  tepat  bagi  kita  maupun  bagi   yang  bersangkutan.  Bahkan  pokok  permasalahan  yang  hendak  kita  jadikan  topik  wawancara  sebaiknya  kita  jelaskan,  agar  yang  bersangkutan  dapat  mempersiapkan  segala  sesuatunya.



PERTANYAAN

          Pertanyaan-pertanyaan  yang  baik  adalah  kunci  bagi  keberhasilan  wawancara.  Seperti  diingatkan  oleh  William  Metz,  sudah  merupakan  aksioma (sesuatu yang pasti),  bahwa  biasanya  yang  kita  peroleh  dari  suatu  wawancara  hanyalah  jawaban-jawaban  saja  terhadap  pertanyaan-pertanyaan  yang  kita  ajukan.  Hanya  sesekali  kita  bisa  memperoleh  lebih  dari  yang  kita  tanyakan.
          Karena  itu  pertanyaan-pertanyaan  harus  kita persiapkan  lebih   dulu.   Kita  masuki  wawancara  dengan  membawa   pertanyaan-pertanyaan  yang  sudah  kita  persiapkan itu. Tentu  saja  kita  tidak  boleh  hanya  terpaku  pada  pertanyaan-pertanyaan  yang  sudah  kita  persiapkan.  Kita  hanya  bisa  mengembangkan  wawancara  kita  dengan  menggali  peertanyaan-pertanyaan  baru  berdasarkan   jawaban-jawaban  yang  diberikan  oleh  orang yang  kita  wawancarai.  Dengan  demikian  akan  dapatlah kita  memperoleh  hasil  yang  lebih  baik.
          Tidak  ada  patokan  tentang  berapa  banyak  pertanyaan  yang  sebaiknya  kita  persiapkan.  Pokoknya  seberapa  yang  kita  perlukan,  sehingga  dengan  jawaban-jawabannya  kita  bisa  menghasilkan  sekurang-kurangnya  satu  berita.  Tapi  harus kita  perhatikan,  bahwa  enam  pertanyaan  yang  tidak  saling  mengait  akan  menghasilkan  enam  alinea  yang  tidak  saling   sambung,  dan pada  gilirannya  akan  menghasilkan  berita  yang  tidak  jelas alurnya.
          Hindari  pertanyaan-pertanyaan  yang  bersifat  umum.  Kepada  pimpinan  rombongan  anggota       DPR  yang  baru  selesai  meninjau  daerah  kita  misalnya,  jangan  kita  bertanya,  ” Bagai  mana  kesan-kesan  Bapak?”.  Arahkan  pertanyaan  kita  pada  sesuatu  yang  spesifik,  pada  satu  atau  lebih  permasalahan  tertentu.  Misalnya  :
          Pertanyaan           : Masalah  apa  yang  menjadi  fokus  perhatian  Anda?
          Jawaban     :  Pemantauan musik lebaran.
          Berdasarkan  jawaban  tersebut,  selanjutnya  arahkan  pertanyaan-pertanyaan  kita  pada  berbagai  aspek  pelaksanaan  mudik tersebut.
          Waktu  menyusun  pertanyaan-pertanyaan  yang  akan  kita  ajukan  dalam  suatu  wawancara,  ada  baiknya  kita  bertanya  pada  diri  sendiri,  ”Apakah  yang  dapat  saya tanyakan  kepadanya  dan  yang  sekiranya  bisa  menghasilkan  berita  utama?  Selanjutnya  selama  berwawancara  pasanglah  telinga  setajam  mungkin  untuk  dapat  menangkap  sesuatu  yang  sekira nya  bisa  kita  jadikan  lead (teras  berita)  kita.  Jika  sudah  memperolehnya,  ajukan  pertanyaan-pertanyaan  untuk  mengembangkannya.
          Untuk   dapat  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  yang  memiliki  daya  tembus yang  kuat,  kita  harus  menguasai  latarbelakang  permasalahan  yang  kita  jadikan  topik  wawancara.

The  GOSS  Formula
         
William  Metz  di  dalam  bukunaya  mengutip  apa  yang  disebut  ”Rumus  GOOS”  (The  GOOS  Formula).  Rumus  ini  dikembangkan  oleh  Larue  Gilleland,  profesor  ilmu  jurnalistik  di   Universitas  Nevada.
          Rumus  tersebut  didasarkan  pada  teori,  bahwa  hampir  setiap  individui  atau  organisasi  yang  menjadi  objek  pemberitaan,  mempunyai  tujuan  atau  maksud,  dan  menghadapi  --atau  akan  menghadapi --  berbagai  rintangan. Diasumsikan  juga,  bahwa  objek  pemberitaan  itu  telah  mendapatkan – atau  sedang mancari  -- cara-cara  mengatasi  rintangan-rintangan  tersebut.   Dan  untuk  mencapai  tujuan  tadi  objek  pemberitaan  sudah  pula  mempunyai  program  atau  jadwal  waktu.
          GOOS  adalah  singkatan  dari  Goal (tujuan),  Obstacle  (rintangan),  Solution  (pemecahan),  Start (mulai  penggarapan).
          Rumus  GOOS  dapat  kita  jadikan  landasan  untuk  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan berikut  :
1.      Goal-revealing  question  (pertanyaan-pertanyaan  untuk  mengungkap  tujuan).  Misalnya,  “Apa  tujuan  organisasi  anda?.
2.      Obstacle-revealing  question  (pertanyaan-pertanyaan  untuk  mengungkapkan  kesulitan-kesulitan  yang  dihadapi).  Misalnya  “kesulitan-kesulitan  apa  yang  Anda  hadapi?”  Atau  “Sudah  sampai  di  mana  tujuan  itu  tercapai  sekarang?”
3.      Sollution-revealing  question  (pertanyaan-pertanyaan  untuk  mengungkap  upaya  yang  telah,  sedang  atau  akan  dilaksanakan  untuk  mengatasi  kesulitan  atau  rintangan  ).  Misalnya,”Bagaimana  Anda  mengatasi  problem   itu?” Atau   ”Apa  rencana  Anda  untuk  mengatasi  konflik-konflik  tersebut?”
4.      Start-revealing  question  (pertanyaan-pertanyaan  untuk  mengungkap  bagaimana  suatu  organisasi  mulai  berdiri,  atau  suatu  kegiatan  mulai  dilaksanakan,  atau  gagasan   siapa).  Misalnya,  ”kapan  program  mulai  dilaksanakan?”


Tatalaksana

MENCIPTAKAN  KEAKRABAN

          Wawancara biasanya  akan  memberikan  hasil  yang  sangat  baik,  jika  berlangsung  secara  wajar, ramah  dan  santai  serta  dalam  suasana  penuh  keakraban  antara  kita  dengan orang  yang  kita  wawancarai.  Karena  itu  kita  hendaknya  berusaha  menciptakan  dulu  suasana  akrab  sebelum  memulai  wawancara  kita,  serta  berusaha  memelihara  keakraban  itu  sepanjang  wawancara  berlangsung.  Seringkali  keakraban  dapat  tercipta,  apabila  kita  tidak  langsung  berbicara  tentang  hal-hal  yang  akan  kita  tanyakan,  melainkan  lebih  dulu  berbicara  tentang  hal-hal  yang  bersifat  pribadi,  misalnya   tentang  apa  yang  menjadi  hobi  orang  yang  kita  wawancarai.
          “Jika  seseorang  enggan  berbicara  tentang   hal- hal  yang  hendak  kita  wawancarakan  kita  harus  lebih  dulu  mengajaknya  berbincang-bincang  mengenai  beberapa  hal yang  tidak  ada  kaitannya  dengan  masalah  yang  hendak  kita  tanyakan.  Misalnya   berbincang-bincang  mengenai  potret  isterinya  atau  apa  saja  yang  ada  di ruangan  tempat  kita  diterima  oleh  tuan  rumah.  Atau  tentang  gosip yang  sedang  ramai  dipercakapkan  orang  banyak”,   kata  Curtis  D. Macdougall  yang  selanjutnya  menambahkan,  ”jika  es  itu  telah  mencair  dan  sikap  ramah  mulai  nampak,  barulah  kita  secara  hati-hati  mulai  berbicara  tentang  hal-hal  yang  menjadi  tujuan  kunjungan  kita  sesungguhnya”.
          Untuk  menciptakan  keakraban,  bahkan  jika  perlu  kita  berguraulah  dulu.  Misalnya  seperti  yang  diceritakan  oleh  Saul  Pett  tentang  wawancaranya  dengan  Walikota  New York,  John  Lindsay.  Pett   tahu,  Lindsay  seorang  humoris.  Pett  langsung  berkata,  ”Ada  suatu  masalah  serius  tentang  masalah  serius  yang  ingin  saya  tanyakan  kepada  Anda.  Saya  harap  Anda  bersedia   secara  terus  terang  menjawabnya”.   Pett melihat  pak  walikota  agak  tersentak  dan  siap  meendengarkan  dan  menjawab  pertanyaan  yang  diperkirakan  sulit  itu. 
Tapi  pertanyaan  Pett  yang  pertama  ternyata  tidak  langsung  mengenai  masalah yang  akan  menjadi  topik  wawancaranya.  Pett  bersendagurau  dulu  dengan  mengajukan  pertanyaan  yang  bukan-bukan.  Ia  bertanya,  ”Apakah  Anda  berkehendak  menikahkan  puteri  Anda  dengan  seorang  Walikota  New  York?”  Karena  Lindsay  seorang  humoris,  maka  peretanyaan  Pett  yang  bukan-bukan  itu  malah  membuat  suasana  semakin  akrab,  dan  wawancara  menjadi  sangat  lancar.
          Karena  itu  jika  kita  akan mewawancarai  seseorang  yang  belum  kita   kenal,  sebaiknya  kita  mencari  dulu  informasi  tentang  sifat  dan  watak  pribadinya,  maupun   tentang apa  yang  menjadi  hobinya,  bahkan  juga  tentang  apa yang  tidak  disukainya.  Jika  kita  mewawancarai  seseorang  yang  sudah  kita  kenal  kita  ketahui  sifatnya, watak  pribadinya,  hobinya  dan  apa  yang  disukainya.
          Tapi  teknik  wawancara  yang  tidak  langsung  berbicara  tentang  masalah  yang  akan  kita  tanyakan  itu,  tidak  selamanya   harus  kita  gunakan.  Dalam  wawancara  spot-news  (wawancara  di  tempat  kejadian),  pendekatan  terbaik  langsung.  ”Jumpai  subjek  Anda,  langsung  berondong  dia  dengan  pertanyaan-pertanyaan.  Lalu  cepat-cepat  pergi  .Wawancara  macam  ini  merupakan  persoalan  kerja  cepat  dan  jangan  membiasakan  diri  membuang-buang  waktu  dengan  menciptakan  keakraban”,  kata  William  Metz.
          Lain  hal  nya  dengan  wawancara yang  direncanakan/dipersiapkan  lebih  dulu,  kata  Metz,  kedua  pihak  punya  waktu  yang  memang  sudah  disediakan  dan  dijanjikan  sejak  beberapa  hari  sebelumnya.  Banyak  penulis  yang  mengkhusus kan  diri  dalam  personallity  interview,  menyatakan  bahwa  pendekatan  tidak  langsung  adalah  yang  terbaik.  ”Mulailah  dengan  omong-omong  tentang  hobi,  tentang  apa-apa yang  tampak  di sekitar  tempat  wawancara  diadakan,  tentang  soal-soal  lain  yang  remeh,  bahkan  tentang  iklim.  Kemudian  secara  bertahap  masukilah  wawancara  dengan  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  yang  Anda  maksudkan. Jadi  ratakan  dulu  jalan  Anda  ke  wawancara.  Jangan  langsung  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan,  apa  lagi  yang  pelik”,   pesan  William  Metz.
            Senada  dengan  William  Metz,  Saul  Pett  berpesan,  ”Jika  wawancara  diadakan  di  tempat  kajadian,  kita  tidak  boleh  bertindak  bodoh  dengan  terlalu  banyak  berputar-putar  dulu.  Tapi  jika  itu  personality  interview,  Anda  mamang  sebaiknya  menggunakan teknik  tidak  langsung ”. 


PENYESUAIAN  DIRI

          Keberhasilan  wawancara  bergantung  juga  pada  sikap  dan  tingkah  laku  kita  selama  berwawancara.  Penyesuaian  diri  sangat  penting.  Tentu  saja  kita  yang  harus  manyesuaikan diri  dengan  orang  yang  kita  wawancarai.  Bukan  sebaliknya.
          Ada  hal-hal  yang  mungkin  sepele,  tetapi  bisa  menimbulkan  pengaruh  besar  terhadap  kelancaran  wawancara,  dan  bisa  merusak  suasana  akrab  yang  semula  sudah  berhasil  kita  ciiptakan.  Misalnya  soal  merokok.  Ada  orang-orang  yang  bukan  saja  ia  sendiri  tidak  suka  merokok,  tetapi  juga  merasa  terganggu  jika  ada  orang  lain  di dekatnya.  Maka  sekalipun  kita  perokok,  tahankanlah  untuk  tidak  merokok,  jika  kita  tahu  orang  yang  kita  wawancarai  adalah  tipe  orang  yang  tidak  suka  merokok,  apalagi  jika  ia  merasa  terganggu  jika  ada  orang  lain  yang  merokok  di  dekatnya.
          Bahkan  pakaian  pun  harus  kita  sesuaikan.  Jika  orang  yang  kita  wawancarai  sudah  berusia  lanjut,  maka  sebaiknya  kita  tidak datang  dengan  mengenakan  pakaian  yang  berwarna  mencolok.  Pilihlah  pakaian  berwarna  teduh.  Jika  orang  yang  kita  wawancarai  kita  kenal  sebagai  orang  yang  senantiasa  berpakaian  rapi.  Kita  harus  datang  dengan  pakaian  serapi-rapinya  pula.
             ”Dalam  banyak  hal  Anda  harus  seperti  mempelai  dan  berpakaian  rapi.  Tapi  tidak  harus  selalu  demikian.  Anda  harus  menyesuaikan  pakaian  Anda  dengan  situasi. Jika  Anda  akan  mewawancarai  pembalap  sepeda  motor,  atau  seorang  pengawas  di  pantai,  atau  pengausaha  peternakan  di  rancnya,  atau  pekerja  tambang,  pakaian  Anda  sebaiknya  serampangan.  Mungkin  blue   jeans  dan  T-shirt”,  Kata  William  Metz.


BUKAN  INTEROGASI

          Ada  wartawan  yang  melakukan  wawancaranya  sedemikian  rupa,  sehingga seperti  sedang  memeriksa  atau  menginteroggasi  tertuduh  atau  terdakwa.  Sikap  atau  cara  demikian  harus  kita  jauhi.  Kita  datang  untuk  mewawancarai,  bukan  untuk  memeriksa  orang,  untuk  meminta  keterangan  atau  informasi,  bukan  melakukan  interogasi.
          ”Sikap  wartawan  amat  besar  pengaruhnya,  bahkan     menentukan  apakah  wawancara  akan  memberikan  hasil  yang  baik,  atau  gagal  sama  sekali”,  kata  F.G.Arpan,  wawancara  tidak  akan  menghasilkan  hasil  yang  baik,  jika  seperti  di  katakan  Arpan,  wartawan  bersikap  kasar,  atau  congkak,  atau  terlalu  berprasangka  terhadap  orang  yang  diwawancarainya.  Atau  pertanyaan-pertanyaan  yang  diajukan  wartawan  bersifat  prasangka  yang  berlebih-lebihan.
          Ada  pula  wartawan  yang  tidak  bisa  mengekang  diri, sehingga  wawancaranya  berubah  menjadi  perdebatan.  Ingat,  tujuan  wawancara  adalah  untuk  meminta  keterangan.  Wawancara  bukan  forum  diskusi  atau  perdebatan.  Wartawan  harus  ingat,  bahwa  di  dalam  wawancara  ia  adalah  penanya.  Boleh  saja  kita  mengungkapkan  pendapat.  Tapi  itu  semua  sekadar  untuk  memancing  tanggapan.
          Seperti  diungkapkan  oleh  William  Metz,  ada  sementara  wartawan  yang  mengubah  wawancara  menjadi  forum  tukar  pikiran,  dengan  maksud  menonjolkan  ilmu  pengetahuan  yang  baru  saja  dipelajarinya.  Metz  berpesan,  ”Hindari  lah  godaan  untuk  menonjolkan  kepandaian  baru  kita.  Pengetahuan Anda  mengenai  masalah  yang  sedang  menjadi  topik  wawancara  haruslah  Anda  tunjukan  dalam  bentuk  pertanyaan-pertanyaan  yang  tajam  menusuknya”.
          Jika  kita  akan  berwawancara,  memang  sebaiknya  kita  mempelajari  dulu  latar  belakang  permasalahan  yang  hendak  kita  jadikan  topik  wawancara  kita.  Gunanya  ialah  agar  kita  dapat  memancing  tanggapan.  Atau  seperti  kata  Curtis  D.Mac Dougall,  dengan  menyisipkan  secara  cerdik  pengetahuhan  kita  itu  ke  dalam  pertanyaan-pertanyaan   yang  kita  ajukan,  kita  akan  bisa  mencegah  kemungkinan  adanya  penekanan  dari  orang  yang  kita  wawancarai,  atau  mencegah   dia  memberikan  keterangan –keterangan  yang  tidak  benar.
          Bagaimana, jika  orang  yang   kita  wawancarai  memberikan  jawaban  yang  bertele-tele, malah  ngelantur,  hampir-hampir  tidak  ada   ujung  pangkalnya.
          ”Jika  waktu  Anda  banyak, biarkan ia mengigau, kemudian  pilihlah  nanti apa  yang  ingin  Anda  gunakan”.  Menurut Metz yang  segera  mengingatkan,  agar  kita jangan berkata , sekalipun  secara  diplomatis ,  ”Mohon perhatian,  saya tidak  ingin  mengatahui  apa  yang  Bapak  kemukakan,  yang  ingin  saya  ketahui ,  ialah  apa  yang  saya  tanyakan ke  pada  Bapak”.  Menurut  Metz,  pengekangan  demikian,  sekalipun  secara  sangat  taktis  kita  melakukannya,  dapat  menyebabkan  orang  yang  kita  wawancarai  hanya  memberikan  keterangan  singkat.  Terutama  dalam  personality  interview,  timbulnya  sikap  demikikan  penting  sekali  kita  mengusahakan, agar  percakapan  tidak  sampai  terhenti  di  tengah  jalan.  Untuk  penulisan  feature  mengenai  pribadi  seseorang,  jawaban-jawaban  yang  mengungkapkan  kandungan  hati  dan  watak  tokoh   yang  menjadi  sasaran  tulisan kita,  sangatlah  berguna.
          Jika  waktu  kita  terbatas,  tentu  saja  harus  kita  usahakan  secara  taktis  tapi  tegas  menggiring  orang  yang  kita  wawancarai  pada  jalur  pembicaraan  yang  telah  kita  gariskan  dengan  pertanyaan-pertanyaan  yang  sudah  kita  siapkan.  ”Jika  tidak,  maka  Anda  tidak  akan  membawa  banyak  hasil  ketika  Anda  kembali ke  tempat  kerja  Anda  ”, kata  William  Metz.
          ”Biarkan  orang  yang  kita  wawancarai  itu  banyak  bicara.  Namun  jaga, agar  ia  tetap  pada jalur  persoalan   yang  kita  tanyakan”, kata  Arpan.

MEMBIKIN  CATATAN

          Beberapa  penulis  buku  jurnalistik  menganjurkan,  agar  pada  waktu  sedang  berwawancara  sebaiknya  kita  tidak  terlalu  banyak mencatat.     Menurut  mereka  pembikinan  catatan  bisa  merusak  suasana.  Curtis  D. Macdougall  adalah  seorang  di antara  yang  memberikan  anjuran  demikian.  Ia  termasuk  orang  yang  berpendapat,  bahwa  wawancara  yang  paling  baik  adalah  yang  berlangsung  secara  wajar, ramah , akrab  dan  santai.” Adalah  bijaksana  dalam  wawancara  yang  bersuasana  demikian  kita  sedikit  mungkin  membikin  catatan. 
Membikin  satu  catatan  saja    seringkali  menimbulkan  bencana. Jika  kita  bisa  menjadikan  orang  yang  kita  wawancarai  lupa  ia  sedang  berbicara  untuk  pemberitaan,  kita  akan  dapat  lebih  banyak  dari  pada  jika  orang  itu  terus-menerus  diingatkan  bahwa kita  mencatat  kata  demi kata yang  diucapkannya.
          Wartawan  harus  memiliki  kemampuan  untuk  mengingat–ngingat dalam  jangka  waktu  tertentu,  satu  jam  atau  lebih,  semua  ucapan  penting  dari  orang  yang  diwawancarainya.  Wartawan  harus  segera  membikin  catatan  dalam  ingatannya  tentang  setiap  pernyataan  yang  penting  yang  akan  digunakannya  nanti,  dan  harus  mencoba  mengulanginya kembali  di dalam  ingatannya selama  wawancara  berlangsung.  Setelah  wawancara  berakhir  wartawan  harus  menggunakan  kesempatan  pertamanya  untuk  menuangkan  ke  atas  lembaran-lembaran  buku  catatan  pernyataan-pernyataan  penting  tadi dan  hal-hal  lain  yang  perlu.
          William  Metz  mengutip  pesan  dua  penulis. Seorang  di antaranya  berpesan, “Kecuali jika  orang  yang  kita  wawancarai menghendaki  dikutip  ucapannya  kata  demi–demi  kata, hindari  penggunaan  buku  caatatan  yang  terang –terangan,  sebab  hal  itu  sering  menyebabkan  orang   yang  kita  wawancarai  diingatkan,  bahwa  ia  sedang  dikutip  dan  pada  gilirannya  hal  ini   menyebabkan  ia  berbicara  tidak  bebas .  Jika  perlu  membikin  catatan,  lakukanlah  sedemikian  rupa  sehingga  tidak  mengganggu”.  Menurut  Metz, teksbook  lain  mengatakan,  ”Selama  berwawancara,  terutama  dengan  orang  yang  belum  biasa  berbicara  dengan  wartawan,  pembikin  catatan  harus  dilakukan  secara  hati-hati”.
          William  Metz   meragukan  apa yang  dikatakan  oleh  kedua  penulis  ter sebut.  ”Tidak  mencatat  dengan  hati-hati?  Tidak  masuk  akal, nonsens!”,  kata  Metz. Menurutnya, bagaimana  bisa  mencatat  tanpa  mengganggu,  jika  itu  dilakukan  wartawan  pada  saat  ia  sedang  berhadapan  muka  dengan  orang  yang  diwawancarainya.
          Metz mengakui,  dalam  kasus  yang  ekstrem,  orang   yang  kita  wawancarai  mungkin  tiba-tiba  jadi  kaku  dan menutup mulutnya setelah  ia  melihat  kita  mencatat  ucapan-ucapannya.   Jika  demikian  halnya, cara  yang  terbaik  menurut   Metz,  adalah  kita  letakan  pensil  dan  bloknote, lalu  berbincang-bincanglah.  Percayakan  pada  daya  ingatan  kita  untuk  mencatat  dan mengingat-ingat  kembali  intisari  wawancara  itu.  Sambil  membiarkan  berlalu  begitu  saja  satu  dua  kalimat  yang  sesungguhnya  baik  kita  kutip  langsung  ke dalam  berita.  Tapi  Metz  mengingatkan,  bahwa  bagaimanapun  daya  ingatan  manusia  itu  terbatas.  Karena  itu  menurut  dia,  kita  jangan  terlalu  percaya  pada  ingatan  kita, terutama  jika  sudah  menyangkut ”penyimpanan” fakta-fakta.  Maka  kata  Metz  ”tulislah  fakta-fakta  itu,  terutama  mengenai  nama, waktu , tanggal  atau  statistik.  Dan  sesaat sebelum  mulai  menulis berita,  bikin lebih banyak   catatan  tentang  apa-apa  yang  akan  digunakan”.
          William  Metz  mengingatkan,  bahwa  pembikinan  catatan  waktu  sedang  wawancara  itu,  juga  penting,  dan  karenanya   harus  kita  lakukan,  untuk  melindungi  diri  kita  sendiri  maupun  sumber.  Metz  menunjuk  kenyataan  kadang-kadang  setelah  setelah  menyiarkannya,  orang  yang  kita  wawancarai  itu  mengatakan,  ”Itu  salah. Itu  tidak  benar.  Saya  tidak  mengatakannya”.  Menghadapi  orang  demikian,  catatan  yang  kita  bikin  pada  waktu  sedang  berwawancara  dan  di depan  mata  orang  yang kita  wawancarainya,  sangatlah  berguna.

          Maka  cara  yang   paling  baik  adalah  :
          1.       Tidak  usah  mencatat  kata  demi  kata  ucapan  orang  yang  kita  wawancarai.  Lagi  pula  mencatat  kata  demi     kata  bisa  menyebabkan  kita  terjebak  dalam  keadaan  satu  pihak  catatan  kita  akhirnya  tidak  lengkap,  dan  rugi   sekali  jika  yang  tidak  tercatat  i tu  justeru  hal-hal   yang  penting.  Di lain  pihak  ingatan  kita  juga  tidak  dapat  menyerap  dan  merekam  dengan  baik  ucapan  yang  kita  wawancarai,  karena  konsentrasi  kita  jadi  terpecah     kepada  pekerjaan  mendengarkan/menangkap  dan  mencatat ucapan  orang.
          2.       Kita  hanya  menulis  catatan,  jika  ada  hal-hal  penting  saja,  terutama  data-data.  Yang  lain-lainnya  kita  catat  saja  dalam  blocknote  kita  ssegera  setelah  wawancara  selesai.
          3.       Jelaskan  kepada  orang  yang  kita  wawancarai,  bahwa  penulisan  catatan  mengenai  hal-hal  penting  harus  kita  lakukan,  agar  kita  tidak  membuat  kesalahan  atau  kekeliruan  di  dalam  pemberitaannya.  Kata kan,  jika  pemberitaannya  salah,  ia  sendiri  bisa  mengalami  kesulitan.


TAPE  RECORDER
         
Penggunaan  tape recorder untuk  merekam  keterangan  orang  yang  kita  wawancarai, adalah  cara  yang  aman.  Tapi  tidak  semua  orang  yang  di wawancarai  mau  keterangannya  direkam.  Dengan  kata  lain,  penggunaan  tape recorder bisa  menyebabkan  orang  yang  kita  wawancarai  tidak  berbicara  secara  bebas.
          William  Metz  setuju dengan  penggunaan  tape  recorder,  sebab  katanya  ”Dengan  tape recorder  Anda  memperoleh  semua  dan  memperolehnya dengan  tepat”.  Metz  bahkan,  tape recorder  adalah  alat  terbaik  yang  menjamin  keakuratan  pengutipan.
          Curtissss  D. MacDougall  tidak  menyangsikan  kegunaan  tape recorder.  ”perekam  dengan  tape recorder adalah  upaya  terbaik  yang  memungkinkan  setiap  reporter  dapat  menjaga  keakuratan ”, katanya.
          Tapi  sekalipun  menggunakan  tape recorder, sebaiknya  kita  tetap  membikin  catatan  terutama  tentang  bagian-bagian  dan  hal-hal  penting.  Jika  tape  kita  ada petunjuk  angkanya  dan  jika  keadaan  memungkinkan,  cukup  kita  mencatat  pada  angka  berapa bagian-bagian  penting  itu.  Jika  catatan  sama  sekali  tidak  kita  bikin,  maka  pada  saat  kita  menulis  berita,  kita  harus  mendengarkan  dari  awal  sampai  akhir  lebih  dulu  untuk  memilih  bagian-bagian  yang  akan kita  ambil. Terlalu  banyak  waktu  yang  harus  kita  habiskan  untuk  itu.  Sedangkan  jika  kita  membikin  catatan,  maka  kita  tidak  perlu  mendengar kan  dulu  rekaman  dari  awal  sampai  akhir.  Tape recorder kita  gunakan  sebagai  alat  pembantu,  terutama  tempat  untuk  mencek dan  agar  kita  dapat  secara  tepat  mengutip  kalimat-kalimat  penting.      
           
STENOGRAFI
         
Keakuratan  adalah  syarat  mutlak setiap  berita.  Keakuratan  menurut  kecermatan  dan  ketelitian  menangkap  dan  mencatat  keterangan  seseorang  di dalam  wawancara  atau  ucapan  seseorang  di dalam  pidato.
          Kita  memang tidak  perlu  mancatat  kata  demi  kata  keterangan  atau  pidato seseorang.  Sudah  baik  dan  cukup  jika  kita  dapat  mencatat  dengan  tepat  bagian-bagian  penting  dari  keterangan  atau  pidato  itu.  Yang  penting  kita  catat  dan  mencatatnya  dengan tepat,  terutama  kalimat-kalimat  yang  sekiranya  baik  untuk  kita  kutip  secara   langsung  dalam  berita  nanti,  serta  hal-hal  yang  menyangkut  statistik,  nama, usia, pekerjaan, alamat  serta angka-angka.
          Dalam  praktik,  untuk  bisa mencatat   bagian-bagian  tertentu  serta  hal-hal  yang  menyangkut  statistik  itu  saja,  kecepatan  tangan  kita  sering  tidak  bisa  mengejar  kecepatan  orang  berbicara.  Itu  jika  kita  membikin  catatan  dengan  tulisan  biasa.
          Maka  wartawan  harus  berterima kasih  kepada  orang  yang  telah  menciptakan  tulisan steno.  Dengan  menggunakan  tulisan  steno itu   bisakah  kita  mengimbangi  kecepatan  aliran  kata-kata  dari  mulut  orang  yang  sedang  kita  wawancarai  atau  sedang  berpidato.  Pencatatan  bagian-bagian  penting  serta  hal-hal  yang  menyangkut  statistik  atau  data  bisa  kita  lakukan  dengan  cermat,  bahkan  mencatat   kata  demi  kata pun  barangkali  bisa.
          Sayangnya banyak  sekali  wartawan  yang  tidak  tertarik minatnya  untuk  memiliki  kecakapan menulis steno.  Bukan  hanya  Indonesia.  Umum nya  wartawan  di  Amerika pun  kabarnya  tidak  mamiliki  kecakapan  tersebut.  Padahal  steno  sangat  besar  manfaatnya .
          ”Jika Anda  menambahkan  kemampuan  menulis  steno  pada  bakat  Anda,  maka  Anda akan  memiliki  kemampuan  kelebihan  dari  reporter-reporter  lain  yang  dikaruniai  kemampuan  tersebut”,  kata  Willliam Metz.  Ia  menganjurkan,  agar  steno  dipelajari  oleh  setiap  orang  yang  berminat  menjadi  wartawan.


KEAKURATAN
         
Berita  yang  kita  hasilkan  dari  wawancara,  seperti  juga  dari  cara-cara  lain,  haruslah  akurat.  Untuk  itu  wawancara  kita  tetap  harus  pertahankan ketelitian  dan  kecermatannya.  Waktu  berwawancara  kita  harus  menajamkan  pendengaran  kita  dan  memusatkan perhatian  kita,  bukan saja  agar  kita  dapat  menangkap  dan  menyerap  selengkap  mungkin apa  yang  dikatakan  orang  yang  kita  wawancarai,  tetapi  juga demi  keakuratan.
          Keterangan  yang  diberikan  oleh  saksi  mata juga  jangan  kita  telan  begitu  saja.  Penelitian  menunjukan,  saksi  mata  juga  bisa  keliru.  Kekeliruan  itu  bisa  diakibatkan oleh  keterbatasan  fisik,  misalnya  penglihatan  pendengaran  yang  sudah  kabur,  atau  orang  yang  bersangkutan  pelupa.  Ketidakakuratan atau  kekeliruan  keterangan  yang  diberikan  oleh  saksi  mata,  bisa  juga  dikarenakan  peristiwa  yang disaksikannya  itu  terjadi  begitu  mendadak,  sehingga  ia  sangat  terkejut  dan  tidak  mengetahui  dengan  pasti  apa  yanga  sesungguhnya terjadi,  atau  bagaimana  duduk  kejadian  sebenarnya.
          Karena  itu  usahakan,  agar  saksi  mata  yang  kita  wawancarai  tidak  cuma  satu  orang,  tetapi  sebanyak  mungkin.
          Di samping  itu  ada  pula  faktor  yang  oleh  para  ahli  jiwa  disebut  persepsi  yang  selektif  dan  kenangan  yang  selektif.  Artinya  begini:  setiap  orang  cenderung  mengenang  kembali  dan  ingin  mengulang  kembali  pengalamannya  atau  apap-apa  yang  menyenangkan  atau  yang  berkenan  di  hatinya.  Kecenderungan  demikian  bisa  menyebabkan  keterangan  yang  diberikan  seseorang  dipengaruhi  oleh  kenangan  manisnya  atau  apa-apa  yang  berkenan  di hatinya, sehingga  tidak  murni,  tidak  atau  kurang  objektif.
          Dalam  kaitan  dengan  persepsi  selektif  dan  kenangan  selektif  itu,  mungkin  orang  bersangkutan  tidak  dengan  sengaja  atau  dengan  sadar  memberikan  keterangan  yang  tidak  murni,  tidak  objektif,  bahkan  keliru.  Tapi  ada  juga  orang-orang yang  dengan  sengaja  dan  sadar  sudah  memersiapkan  diri  untuk  memberikan  keterangan-keterangan  yang  tidak  benar,  yang  menyesatkan.
          Keterangan  yang  salah,  keliru,  atau  tidak  tepat,  dapat  juga  keluar  dari  seseorang  yang  kurang  mempunyai  perhatian  terhadap  peresoalan  yang  kita  tanyakan.  Tapi  ada  juga  orang-orang  yang  merasa  dirinya  ahli  dalam  bidang  permasalahan  yang  kita  tanyakan,  padahal  merka  mengerti  juga  tidak ,  sehingga  keterangannya  salah.
          Keterangan  yang  salah  bisa  juga  bersumber dari  kesalahan  wartawan,  yaitu  mengajukan  pertanyaan-pertanyaan  yang  kurang  tepat  merumuskanya,  atau  membingungkan  orang  yang  kita  wawancarai.  Atau  bisa  juga  karena  pertanyaan  kita  terlalu  lancang, berlatarbelakang  rasa  kurang  senang  terhadap   pribadi  orang  yang  kita  wawancarai  atau  berprasangka  jelek  terhadapnya.
          Kita  jangan  terbujuk  atau  disesatkan  oopeh  orang  yang  kita   wawancarai.  Kita  jangan  kehilangan  netralitas.  ”Kita  semua  memang  dipengaruhi  oleh  segala  hal-hal  yang  menyentuh  hidup  kita,  sehingga  tidak  ada  orang  yang  mampu  bersikap  objektif  secara  mutlak.  Tapi  wartawan  profesional  haruslah  berusaha  untuk  seobjektif  mungkin”,  kata  William  Metz.
          Dan  barangkali  tidaklah  sulit  untuk  menjaga,  agar  berita  yang  kita  hasilkan  dari  wawancara  tidak  terlalu  berwujud  propaganda  orang  yang  kita  wawancarai,  atau  mengambil  alih  fungsi  tajuk  rencana.
         
ILMU  JIWA
         
Wawancara  bukan  pekerjaan  mudah.  Seringkali  wawancara  lebih  dari  sekadar mengajukan  pertanyaan  kepada  seseorang  dan  mencatat  jawaban-jawabannya.  Seringkali  wawancara  memerlukkan  penerapan  ilmu  jiwa,  sehingga  kita  dapat      menciptakan  keakraban  dengan  orang yang  kita  wawancarai,  dan  dengan  demikian  orang  tersebut  mau  memberikan  keterangannya  dengan  lancar  dan  lengkap.
          William  Metz  tidak  secara  khusus  mengatakan,  bahwa  wartawan  harus  memiliki pengetehuaan  tentang  ilmu  jiwa.  Tapi  adalah  Prof. Dr. Floyd  G. Arpan yang  mengingatkan,  bahwa  wartawan  harus  berhadapan  dengan  beraneka  ragam  sifat  dan tabiatnya.  Wartawan  akan  dapat  mengatasi  kenyataan  itu,  jika  mereka  benar-benar  mempelajari  ilmu  jiwa.  ”Tanpa  memelajari  ilmu  jiwa,  maka  kecakapan  membuat  berita,  kemahiran  bahasa  dan  kepandaian-kepandaian  lain  akan  menjadi  sia-sia  begitu  saja  hanya  karena  soal  kejiwaan  yang  amat  sepele”,  kata  Arpan.
          Arpan  menunjukan  kenyataan  adanya  wartawan-wartawan  yang  gagal  mencari  berita  hanya  karena  mereka  kurang  memiliki  pandangan  mengenai  bagaimana  jiwa  manusia.  Karena  itu  salah  satu  syarat  wartawan  yang  baik,  menurut  Arpan,  adalah  memiliki  pengetahuaan  tentang  jiwa  manusia.  Arpan  menyayangkan  kenyataan  banyak  wartawan  yang  tidak  pernah  membaca  buku  ilmu jiwa,  bahkan  tidak  mengetahui  apa  itu  ilmu  jiwa.
          Pentingnya  wartawan  memiliki  pengetahuaan ilmu  jiwa,  juga  dikemukakan  oleh  Sidney Kobre.  Ia  mengatakan,  reporter  yang  memiliki  pandangan  dan  latarbelakang  pengetahuaan  psikologi dapat  menyelam  jauh  ke permukaan,  apabila  menghadapi  bahan  berita  yang  menyentuh  aspek  psikologis.  Reporter  akan  dapat  menggali  sebab-musabab  suatu  peristiwa  atau  masalah  secara  mendalam  dan  lalu  menjelaskannya  kepada  pembaca,  jika  dirinya  dilengkapi  dengan  pengetahuaan  psikologi,  seraya  mempelajari  dan  membaca  kepustakaan  mengenai  masalah  yang  sedang  digarapnya,  serta  mempertajam  pandangannya  lewat  pengamatan  dan  pengalaman.
          ”Di  dalam  kenyataan  kehidupan,  dan  dengan  demikian  di  dalam  berita  yang  dimaksudkan  untuk  menceminkan  kehidupan  secara  realistis,  tidak  ada  pemisah antara  ilmu  jiwa  dengan  ilmu  ekonomi.  Reporter yang  diterampilkan  oleh  pendidikan  dan latihan  pada  kedua  bidang  tersebut  menjalin  dan  memadukan  ilmu  jiwa dan  ilmu ekonomi  dalam  kedua  bidang  tersebut  menjalin  dan  memadukan  ilmu  jiwa  dan  ilmu  ekonomi  ke  dalam  beritanya,  sehingga  berbobot  dan  secara  brillian  menerangi   kehidupan  yang  kontemporer”,  kata  Sidney  Kobre.                              


BROADCAST NEWSWRITING
( Kiat Menulis Berita Media Siaran )
(Pius Pope – LPDS )


Secara umum tulisan untuk media siaran harus merujuk pada prinsip KISS + SMOOTH
Keep It Short and “Stupid” (simple) + lancer dilupakan

K. Tim Wulfemeyer mengungkapkan 10 butir pegangan berikut :

1.     Tulislah berita anda “easy on the eye as well as easy on the ear”. Usahakan agar si presenter mudah membacanya dan khalayak mudah mendengar dan memahaminya.

2.     Tulislah berita dalam kata-kata anda sendiri. Jangan “membeo” pada keterangan atau naskah yang anda “re-write”. Kecuali kata-kata yang kontroversial, harus sesuai dengan aslinya. Jangan takut untuk tidak seperti kata-kata aslinya.

3.     Gunakan kalimat singkat tapi lancar dan tidak kaku (get a flow to your writing) sebab tuturan sehari-hari selalu ”mengalir” (lancar).

4.     Buanglah kata-kata mubazir, khususnya ”adjectives” dan ”adverbs”.

5.     Upayakan sesingkat dan sepadat mungkin.

6.     Tulislah secara ketat ”Write Tightly”, tapi jangan korbankan makna ”don’t sacrifice meaning”. Masukkan unsur “why” dan unsur terpenting dalam berita anda.

7.     Jangan menjejali kalimat anda dengan terlalu banyak fakta. Ingat, satu berita , hanya satu unsur penting : “one at a time” – “ a sentence at a time “. Satu kalimat satu pikiran (topik).

8.     Gunakan kosa kata yang umum dan lazim. Kata-kata yang mudah didengar dan dipahami.

9.     Talk your story out. Make sure it sound right. Tulislah berita anda sambil ucapkan dengan jelas.


10.                        Think and write the way you talk. (Prinsip ini adalah prinsip yang disebut “Hey guess what:” yang bakal menjadi Lead Berita Anda. – Hai tahu ndak : Capres X menang telak lho tadi pagi “. Maka itulah Lead anda : Capres X menang telak tadi pagi . Ia  mengalahkan pesaingnya paling ketat Capres Z. X mendapat sekian suara tau sekian persen d’).  

 MENULIS FEATURES

Written by lpmaqua
Sunday, 03 June 2007

Source : http://persma.org

Farid Gaban
  
Mengapa feature?

Secara kasar karya jurnalistik bisa dibagi menjadi tiga:

1.     Stright/spot News -- berisi materi penting yang harus segera dilaporkan kepada publik (sering pula disebut breaking news)

2.     News Feature -- memanfaatkan materi penting pada spot news, umumnya dengan memberikan unsur human/manusiawi di balik peristiwa yang hangat terjadi atau dengan memberikan latarbelakang (konteks dan perspektif) melalui interpretasi.

3.     Feature -- bertujuan untuk menghibur melalui penggunaan materi yang menarik tapi tidak selalu penting.

Dalam persaingan media yang kian ketat tak hanya antar media cetak melainkan juga antara media cetak dengan televisi, straight/spot news seringkali tak terlalu memuaskan. Spot news cenderung hanya berumur sehari untuk kemudian dibuang, atau bahkan beberapa jam di televisi. Spot news juga cenderung menekankan sekadar unsur elementer dalam berita, namun melupakan background. Kita memerlukan berita yang lebih dari itu untuk bisa bersaing. Kita memerlukan news feature -- perkawinan antara spot news dan feature. Karena tradisi ini relatif baru, kita perlu terlebih dulu memahami apa unsur-unsur dan aspek mendasar dari feature.

Apakah feature?
Inilah batasan klasik mengenai feature: ''Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan.''

Kreatifitas
Berbeda dari penulisan berita biasa, penulisan feature memungkinkan reporter ''menciptakan'' sebuah cerita. Meskipun masih diikat etika bahwa tulisan harus akurat -- karangan fiktif dan khayalan tidak boleh -- reporter bisa mencari feature dalam pikirannya, kemudian setelah mengadakan penelitian terhadap gagasannya itu, ia menulis.

Subyektifitas
Beberapa feature ditulis dalam bentuk ''aku'', sehingga memungkinkan reporter memasukkan emosi dan pikirannya sendiri. Meskipun banyak reporter, yang dididik dalam reporting obyektif, hanya memakai teknik ini bila tidak ada pilihan lain, hasilnya enak dibaca. Tapi, reporter-reporter muda harus awas terhadap cara seperti itu. Kesalahan umum pada reporter baru adalah kecenderungan untuk menonjolkan diri sendiri lewat penulisan dengan gaya ''aku''. Kebanyakan wartawan kawakan memakai pedoman begini: ''Kalau Anda bukan tokoh utama, jangan sebut-sebut Anda dalam tulisan Anda.''

Informatif
Feature, yang kurang nilai beritanya, bisa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi atau aspek kehidupan yang mungkin diabaikan dalam penulisan berita biasa di koran. Misalnya tentang sebuah Museum atau Kebun Binatang yang terancam tutup. Aspek informatif mengenai penulisan feature bisa juga dalam bentuk-bentuk lain. Ada banyak feature yang enteng-enteng saja, tapi bila berada di tangan penulis yang baik, feature bisa menjadi alat yang ampuh. Feature bisa menggelitik hati sanubari manusia untuk menciptakan perubahan konstruktif.

Menghibur
Dalam 20 tahun terakhir ini, feature menjadi alat penting bagi suratkabar untuk bersaing dengan media elektronika. Reporter suratkabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa ''mengalahkan'' wartawan radio dan televisi untuk lebih dulu sampai ke masyarakat. Wartawan radio dan TV bisa mengudarakan cerita besar hanya dalam beberapa menit setelah mereka tahu. Sementara itu wartawan koran sadar, bahwa baru beberapa jam setelah kejadian, pembacanya baru bisa tahu sesuatu kejadian -- setelah koran diantar. Wartawan harian, apalagi majalah, bisa mengalahkan saingannya, radio dan TV, dengan cerita eksklusif. Tapi ia juga bisa membuat versi yang lebih mendalam (in-depth) mengenai cerita yang didengar pembacanya dari radio. Dengan patokan seperti ini dalam benaknya, reporter selalu mencari feature, terhadap berita-berita yang paling hangat. Cerita feature biasanya eksklusif, sehingga tidak ada kemungkinan dikalahkan oleh radio dan TV atau koran lain.

Feature memberikan variasi terhadap berita-berita rutin seperti pembunuhan, skandal, bencana dan pertentangan yang selalu menghiasi kolom-kolom berita, feature bisa membuat pembaca tertawa tertahan. Seorang reporter bisa menulis ''cerita berwarna-warni'' untuk menangkap perasaan dan suasana dari sebuah peristiwa. Dalam setiap kasus, sasaran utama adalah bagaimana menghibur pembaca dan memberikan kepadanya hal-hal yang baru dan segar.


Awet
Menurut seorang wartawan kawakan, koran kemarin hanya baik untuk bungkus kacang. Unsur berita yang semuanya penting luluh dalam waktu 24 jam. Berita mudah sekali ''punah'', tapi feature bisa disimpan berhari, berminggu, atau berulan-bulan. Koran-koran kecil sering membuat simpanan ''naskah berlebih'' -- kebanyakan feature. Feature ini diset dan disimpan di ruang tata muka, karena editor tahu bahwa nilai cerita itu tidak akan musnah dimakan waktu.

Dalam kacamata reporter, feature seperti itu mempunyai keuntungan lain. Tekanan deadline jarang, sehingga ia bisa punya waktu cukup untuk mengadakan riset secara cermat dan menulisnya kembali sampai mempunyai mutu yang tertinggi. Sebuah feature yang mendalam memerlukan waktu cukup. Profil seorang kepala polisi mungkin baru bisa diperoleh setelah wawancara dengan kawan-kawan sekerjanya, keluarga, musuh-musuhnya dan kepala polisi itu sendiri. Diperlukan waktu juga untuk mengamati tabiat, reaksi terhadap keadaan tertentu perwira itu.

Singkat kata, berbeda dengan berita, tulisan feature memberikan penekanan yang lebih besar pada fakta-fakta yang penting -- fakta-fakta yang mungkin merangsang emosi (menghibur, memunculkan empati, disampil tetap tidak meninggalkan unsur informatifnya). Karena penakanan itu, tulisan feature sering disebut kisah human interest atau kisah yang berwarna (colourful).

Teknik penulisan feature
Jika dalam penulisan berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan feature kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Memang itulah kunci perbedaan antara berita ''keras'' (spot news) dan feature. Penulis feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah.

Penulis melukis gambar dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan tokoh utama. Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.

''Piramida terbalik'' (susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah -- hingga mudah untuk dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik.

Comments