Karya NURDIN M. NOER : Materi didapat saat pelatihan Jurnalistik KNPI Kab. Cirebon
Reportase :
Tugas Awal Jurnalistik
Catatan
NURDIN M. NOER
Dalam dunia jurnalistik, segalanya bermula dari
reporter (pelapor, pewarta). Editor yang baik bisa bekerja dengan baik,
memproses berita dan mengerjakan bersama di bawah deadlines merupakan
suatu kehidupan media massa, baik suratkabar maupun elektronik yang
mempertemukan pembaca/pemirsa pada kebutuhan dan keinginan. Tetapi redaktur
(editor) bisa bekerja dengan mereka, jika para reporter telah menuliskan
beritanya.
Keberhasilan reporter ditentukan beberapa keahlian
dan atribut, seperti memulai dengan integritas, melihat dengan pikirannya yang
aneh serta bernafsu untuk melakukan tindakan yang akurat. Keberhasilan mereka ditentukan oleh ketahanan (tenacity)
dan agresivitas. Mereka tak pernah berkata mengenai kesopanan atau
kekurangajaran (brashness), yang penting adalah bertahan secara terus
menerus untuk memperoleh informasi.
Apa yang pertama kali harus Anda
sikapi, ketika Anda memulai tugas sebagai wartawan ?
Jawabannya : Pergi
bertugas dengan memahami apa yang harus Anda lakukan
Ingat !
· Deadline adalah
“tiran” yang tak bisa diimbangi dengan pendapat lain.
· Reporter mengumpulkan informasi dari tiga sumber :
1.
Catatan dan dokumen.
2.
Wawancara.
3.
Pengamatan pribadi.
Syarat-syarat
apakah yang diperlukan untuk menulis yang baik ?
Jawabannya pendek saja : “Kecerdasan dan kemampuan dalam mengorganisasikan
kalimat secara detail. Sebab menulis merupakan suatu keahlian dan sebuah
proses.”
Bagaimana Anda melakukan
wawancara ?
Wawancara merupakan bagian yang sangat penting dari tugas-tugas
jurnalistik. Dari wawancara seorang reporter bisa mengumpulkan bahan informasi
sekaligus menyimpulkan peristiwa yang terjadi. Wawancara bukan sekadar
“tanya-jawab.”
Beberapa tip yang diperlukan
untuk wawancara
1.
Sebelum Anda membuka wawancara,
mulailah dengan pembicaraan santai dan sedikit bersendagurau.
2.
Sejak awal, jawaban dari berbagai
pertanyaan yang Anda ajukan sebaiknya sudah Anda ketahui.
3.
Pada sejumlah pertanyaan yang
tidak memerlukan jawaban, Anda bisa sedikit menjelaskan detail khusus dari
suatu peristiwa untuk kepentingan pembaca dan tulisan berita Anda.
4.
Anda harus bisa memahami jawaban
yang diberikan dari sumber berita Anda.
5.
Bagi jawaban pertanyaan yang
bersifat “buka-tutup”, yang tak bisa dijawab dengan ya atau tidak. Jawaban
pertanyaan “buka tutup” seringkali lebih dinyatakan.
6.
Perhatikan peluang untuk jawaban “mengapa” atau
“bagaimana”. Kejar dengan pertanyaan yang serupa tapi tak sama.
7.
Gunakan teknik penceritaan dengan
menanyakan “bagaimana” dan “mengapa”.
8.
Jika jawaban pokok masih belum
terjawab tuntas, ajukan lagi pertanyaan yang serupa.
9.
Gambarkan satu hasil riset
tertentu sebelum melakukan wawancara dan tanyakan : “Bagaimana pandangan Anda
tentang itu ?”
10.Lakukan jeda sejenak saat wawancara mencapai
puncaknya.
11.Ucapkan “terimakasih” atas segala
jawaban yang diberikan narasumber, sebelum wawancara berakhir.
12.Catat atau rekam seluruh pembicaraan
saat wawancara berlangsung.
Sumber : Handbook
for Journalists, Malcolm F. Mallette/editor, World Press Freedom Committee.
Penulisan Berita Lempang
(Straight
News)
APA itu berita
? Sebuah berita selalu menyediakan
informasi penting mengenai peristiwa yang terjadi di suatu tempat dan
disampaikan dalam bentuk yang standar (baku).
Penulisan berita lempang (straight news) tidak bertele-tele,
terang, padat dan tidak multitafsir.
Tujuannya
adalah untuk menyampaikan peristiwa
penting kepada masyarakat luas secara cepat.
Ingat, saat ini informasi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia
sehari-hari.
Apakah setiap informasi bisa
ditulis menjadi berita ? Jawabannya “Ya. Apapun bisa.” Suatu berita yang baik harus memenuhi
unsur “5 W + 1 H”. What (apa) ? Who (siapa) ? Where (di mana) ? When (kapan) ? dan Why
(mengapa) ? dan How (bagaimana/berapa) ?
What
: Apa yang terjadi
?
Tujuannya
adalah mencari perhatian pembaca, juga yang akan Anda siarkan bisa dibaca dan
dilaporkan sebagai isu Anda.
Who : Siapa yang menjadi pokok berita ?
Seharusnya
mereka diidentifikasi dan digambarkan.
“Siapa” bisa dimungkinkan, mengenai pribadi, kelompok, peristiwa dan kegiatannya.
Where : Di mana peristiwa itu terjadi ?
Tempat atau
lokasi bisa menjadi perhatian khusus – termasuk denah dengan petunjuknya.
Buatlah kemudahan untuk liputan
peristiwa Anda.
When : Kapan peristiwa itu terjadi ?
Tanggal, hari, pekan dan waktu terjadinya peristiwa harus jelas.
Why : Mengapa peristiwa itu terjadi ?
Ingat, teras kalimat atau berita
utama sebaiknya ditulis untuk memancing
perorangan untuk membaca atau mendengarkan berita yang Anda tulis.
How : Bagaimana latarbelakang
pertistiwa itu ?
Apa
model terbaik untuk penulisan berita lempang ?
Buatlah penggalan-penggalan kata. Kalimat dan paragraf sebaiknya singkat. Anda harus
bisa memindahkan mata para pembaca untuk beralih secara cepat dan mudah pada
halaman tersebut.
Mulailah
dengan teras kalimat (pandangan utama
yang paling penting), memperluas dalam
membuka wawasan Anda lebih dari sekadar informasi dan detail pada pesan-pesan
yang penting. Dalam kata lain, menulis
berita sama dengan model klasik “piramid terbalik”.
Utamakan teras berita (lead) pada masalah-masalah yang
penting. Seperti, apa, siapa, di mana dan kapan. Berikutnya baru pada mengapa dan bagaimana.
Berikan Jawaban terhadap “5W + 1 H”
Seringkali Anda tidak akan mengetahui hingga Anda melihat berita Anda
dicetak. Jika Anda menaruh lebih banyak informasi penting dalam headline (berita
utama), ikuti “5 W + 1H”, jelaskan secara khusus, dan terperinci pada kalimat-kalimat dalam
paragraf, Anda telah melakukan perubahan yang baik dan berhasil. Ingat, sebuah
berita kerapkali dicetak dari hasil
liputan Anda, dengan penyuntingan
redaktur secara ketat dari atas hingga
bawah.
Setelah
Anda menuliskannya, lakukan kembali perbaikan hingga Anda bisa memastikan
pikiran Anda masuk di dalamnya. Tak usah khawatir (takut) pada perubahan teras kalimat. Lakukan
cek hingga Anda yakin telah menjawab “5 W + 1H” tersebut pada peristiwa
yang Anda tulis. Sangat memungkinkan Anda melakukan percobaan dengan membuat
berita yang menggairahkan dan dramatis
terhadap fakta-fakta yang penting.
Bisakah saya membuat berita
mengenai pribadi seseorang?
Mengapa
tidak ? Berita yang Anda tulis itu biasanya disebut “profil” atau istilah lain
sesuai selera media yang menyiarkannya. Sudah tentu cara penulisan berita
semacam ini memiliki model yang berbeda dengan penulisan “berita lempang” atau
“straight news”.
Cobalah
Anda amati orang-orang di sekitar Anda. Mungkin ia seorang dosen, guru, murid
berprestasi, ketua organisasi siswa, manajer pendidikan, atau pribadi menarik
lainnya. Catat nama-nama mereka dan mencari tahu mengenai latarbelakang mereka.
Datangi mereka dan wawancarai.
Teliti
nama-nama tersebut. Teliti gelar dan
ejaannya, karena ini merupakan model pendekatan pribadi yang memiliki
daya tarik.
Bagaimana Anda mengirimkan berita ?
Anda bisa menyampaikan tulisan berita Anda pada redaktur yang memiliki perhatian terhadap masalah itu. Pada saat yang sama, Anda sebaiknya mengumpulkan informasi mengenai kios tempat penjualan suratkabar. Ikuti pertanyaan yang menolong Anda dalam mengumpulkan informasi :
·
Siapa yang menentukan berita itu
akan dimuat ? Sebutkan nama, jabatan dan gelarnya.
·
Siapa yang menentukan terhadap
ketidakhadiran (absen) orang itu ? Sebutkan nama, jabatan dan gelarnya.
·
Apakah ada seorang reporter yang
menulis isu-isu tertentu ? Siapa namanya ?
·
Kapan, tulisan/berita tersebut dimuat ?
·
Sejauhmana kemajuan yang diperoleh pada setiap
peristiwa (berita) yang dipajang di kios-kios koran disampaikan ?
·
Apakah tipe suratkabar pada kios
itu disambut dengan
sangat antusias ? Mereka membuat
latarbelakang informasi, fotografi, slide berwarna, tape recorder dan tape
video ? Apa pula manfaatnya ?
Jangan lupa mengumpulkan seluruh
keperluan, telefon dan nomor fax. Juga pelajari nama-nama sekretariat (berbagai
organisasi/lembaga) dan segera kenali mereka.
Bentuk standar untuk sebuah
penulisan berita atau artikel sebagai berikut :
o
Berita atau artikel ditulis dalam
sehelai kertas putih biasa, biasanya menggunakan ukuran kertas standar bisnis
di tempat Anda berada. Sangat baik, jika Anda menerakan kop pada amplop surat
yang siap dikirimkan. Hal ini
akan membantu identitas organisasi/lembaga Anda sebagai sumber berita.
o Lebar
batas tepi surat dengan teks biasanya berkisar antara 38 hingga 40
milimeter.
o Jika
alamat Anda tidak diterakan pada kertas yang digunakan, kemudian tik secara
lengkap alamat pada bagian atas-kiri halaman surat.
o Nama
untuk kontak pribadi ditulis di bawah tanggal siaran pers, dan nomor kontak telefon, selayaknya dituliskan.
Kutipan
: naskah aktual dalam tulisan berita diawali pada baris pertama-ketiga.
o Mulai dengan berita utama (headline). Tik dengan
kata-kata yang segar pada margin sebelah kiri.
Tulis judul dengan huruf besar atau tebal.
o
Pengetikan
dilakukan dengan jarak spasi ganda.
o
Paragraf
kemungkinan bisa ditandai pada baris pertama. Standar spasi digunakan di antara
paragraf.
o
Sangat
baik menulis berita dengan satu atau dua halaman lebih. Tik (tulis) simbol *** atau ### pada bagian bawah halaman akhir,
jika telah selesai menulis berita.
Contoh berita lempang
Dugaan
Penggandaan LJKS
Bentuk Pembodohan Siswa
KEJAKSAN,
(MD).
Dugaan penggandaan lembar jawaban
kerja siswa (LJKS) yang dilakukan guru pada pelaksanaan ujian nasional (UN)
siswa kelas III sebuah SMA, 10 sampai 14 Mei 2004, merupakan bentuk pembodohan
terhadap siswa.
“Penggandaan LJKS pada UN yang
dilakukan guru sama saja dengan membodohi siswa. Percuma kalau sebelumnya siswa
dicekoki dengan berbagai soal latihan sebagai persiapan menghadapi UN, tapi
pada pelaksanaannya LJKS digandakan,” kata Ketua PGRI Kota Cirebon Drs. Agung
Prabowo, M.Pd menanggapi adanya dugaan “penggandaan” LJKS, Minggu (23/5) di
kediamannya.
Sebagai Ketua PGRI dirinya merasa prihatin adanya
dugaan kebocoran UN SMA di Kota Cirebon. Selain berakibat pada pembodohan
siswa, tindakan itu telahmerusak nama baik pendidikan Kota Cirebon.
“Terus terang selaku Ketua PGRI
saya merasa prihatin adanya dugaan pembocoran atau penggandaan LJKS pada UN SMA
di Kota Cirebon. Bagaikan
tersambar petir di siang hari,” ujar Agung.
(C-23).***
Teknik Penulisan Berita Pendalaman
(Depht News)
·
Menulis berita pendalaman (depth
news) sebenarnya hampir sama dengan
pola penulisan lainnya, seperti features, opini dan tajuk rencana.
·
Tetap menggunakan rumusan 5 W + 1
H.
·
Berita
pendalaman lebih mengetengahkan penggalian berita di balik peristiwa.
·
Lebih
jauh lagi “pendalaman berita” ini mengarah pada penyelidikan (investigasi)
mengenai suatu peristiwa.
·
Peristiwa-peristiwa
mengenai “mega korupsi”, konflik di suatu daerah, peristiwa ekonomi, kasus
kriminalitas dan sebagainya merupakan isu-isu yang bisa diketengahkan untuk
didalami.
·
Tujuannya
: agar pembaca lebih memahami persoalan tersebut secara detail. Karena itu
wartawan yang melakukannya pun harus memiliki kualifikasi “spesialisasi” atau
disiplin ilmu tertentu yang benar-benar dikuasainya.
·
Investigative
reporting bisa mencapai cakupan yang jauh lebih luas dan
juga dapat menjangkau pelaporan tafsiran mendalam (interpretative in-depth
reporting).
·
Biasanya,
perhatian lebih banyak juga diberikan pada ilustrasi berita-berita investigative
dengan berbagai foto yang baik, gambar, grafik, sketsa dan peta.
·
Wartawan
bisa bersikap seperti detektif yang melakukan penyamaran tanpa harus membuka identitasnya di depan
publik. Hal ini dinyatakan sah sesuai Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang
menyatakan, “Wartawan Indonesia dalam memperoleh
informasi dari sumber berita/narasumber, termasuk dokumen dan memotret,
dilakukan dengan cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum,
kaidah-kaidah kewartawanan, kecuali dalam hal investigative reporting.”
·
Beberapa reporter dan redaktur terbaik
ditugaskan untuk menangani proyek investigative itu, karena hal tersebut
dianggap sebagai salah satu bentuk jurnalisme paling sulit yang harus
dikerjakan dengan berhasil (Al Hester, Pedoman untuk Wartawan).
·
Isu-isu yang biasa dilakukan wartawan untuk melakukan investigative
reporting, antara lain :
Kerusakan lingkungan –
v Menyangkut
perkembangan kendaraan bermotor, sehingga makin tingginya muatan timbal di
sekitar kita.
v Penggundulan hutan.
v Masalah kebutuhan air
bersih.
Kesehatan
o Penyakit
yang disebabkan virus yang mematikan, seperti HIV/AIDS, SARS dan sebagainya.
o Penyakit
hewan ternak gila yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
o
Pencegahan penyakit TBC, jantung dan hepatitis.
Hukum/kejahatan
v Korupsi di lingkungan
pemerintahan.
v Melacak gembong
kejahatan.
v Mafia peradilan.
Kebudayaan
v Terkikisnya
budaya lokal yang digantikan dengan makin kokohnya budaya dari luar.
v Perilaku
masyarakat yang menyimpang dari tradisi baku.
v Perubahan gaya hidup masyarakat.
Ekonomi
v Kemiskinan.
v Pengembangan dunia
usaha.
v Pertumbuhan
ekonomi yang sangat lambat.
v Prospek
(masa depan) ekonomi suatu daerah.
v Tingkat urbanisasi.
Gender
o
Aktivitas kalangan perempuan.
o Isu
persamaan hak, poligami dan gaya hidup perempuan modern.
o
Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luarnegeri.
o Seks
bebas di kalangan remaja dan pelajar.
o
Dsb.
o Hampir
semua media massa, seperti televisi, radio, suratkabar dan majalah berita
menyediakan ruangan untuk “laporan selidikan” (investigation report). Biasanya disediakan lebih luas dibanding
rubrik-rubrik lainnya.
o
Tugas investigasi lebih
rumit dan membutuhkan kecakapan tersendiri, karena itu hanya kalangan reporter
dan redaktur terpilih saja yang bisa melakukan tugas ini.
Sumber : Finding Your Public Voice,
Information US Agency, 1999.
TEKNIK
WAWANCARA
Tujuan Wawancara
Sangat banyak
peristiwa yang terjadi
tanpa wartawan sempat
menyaksikannya sendiri. Lewat
wawancara wartawannyalah surat
kabar atau media elektronik akhirnya
dapat memberitakan peristiwa
demikian.
Seringkali wartawan
sempat menyaksikan suatu
peristiwa dari awal
sampai akhir. Tapi bahan
yang diperolehnya belum
lengkap. Seringkali pula
wartawan merasa perlu
--malah harus-- mencek
kembali kebenaran bahan
yang telah diperolehnya
untuk melengkapi dan/atau
mencek kembali bahan
yang telah diperolehnya.
Wartawan harus melakukan wawancara.
Adakalanya suatu
peristiwa berlangsung di belakang
pintu tertutup. Wartawan
tidak boleh menghadirinya, tapi
ia harus mewawancarai
orang-orang yang hadir
pada peristiwa itu.
Berita atau
feature mengenai suatu
penemuan baru, mengenai
prestasi seseorang, atau
mengenai suka-duka seseorang,
atau riwayat hidup
seseorang, umumnya punya
daya tarik cukup
kuat
bagi banyak pembaca.
Untuk dapat menyajikan
berita atau frature
demikian, wartawan harus
melakukan wawancara.
Wawancara erat
pula kaitannya dengan
kode etik jurnalistik,
khususnya ketentuan yang
diwajibkan wartawan meneliti
kebenaran suatu informasi
sebelum menyiarkannya. Ketentuan
yang mewajibkan wartawan
melakukan chek and rechek.
Dan untuk memenuhi ketentuan tersebut,
wartawan harus melakukan
wawancara.
Wawancara
merupakan landasan bagi
pencarian dan mengumpulkan
bahan berita. ”Dari wawancaralah
berita lahir”, kata
William Metz, yang lalu
menegaskan, ”Anda dapat
menjadi seorang reporter
yang baik, sekalipun
bukan penulis berbakat.
Tapi anda tidak bisa menjadi
reporter yang baik
tanpa memiliki kemampuan
berwawancara secara baik”.
Macam-macam
wawancara
Berdasarkan tujuannya
1. Wawancara berita
Wawancara berita
atau ”news interview”
dimaksudkan untuk memperoleh
bahan berita dan/atau
dalam rangka melakukan
chek and
rechek bahan berita,
baik yang faktual
maupun yang bersifat
opini. Yang faktual,
misalnya keterangan orang-orang
yang mengalami atau
menyaksikan suatu peristiwa.
Yang bersifat opini,
misalnya pendapat atau
tanggapan seseorang tentang suatu
peristiwa atau masalah.
News
interview kita lakukan
biasanya :
a.
Jika kita
perlu memberitakan suatu
peristiwa yang tidak
sempat kita saksikan
karena kita memang tidak
mengetahui sebelumnya, bahwa
peristiwa tersebut akan
terjadi. Misalnya, peristiwa pembunuhan, penggarongan dan sejenisnya.
b.
Jika kita ingin memberitakan suatu
peristiwa yang berlangsung di belakang
pintu tertutup. Misalnya
apa yang dibicarakan
dan diputuskan dalam
sidang kabinet.
c.
Jika kita
perlu/harus melengkapi bahan
berita yang sudah
kita peroleh.
d.
Jika kita
perlu/harus melakukan chek and
rechek dalam rangka
meneliti kebenaran informasi
yang diperoleh.
e.
Jika kita
perlu memberitakan tanggapan seseorang
atau beberapa orang
mengenai suatu peristaiwa
atau masalah yang
telah atau yang
belum kita beritakan.
2. Personality interview
Personaliti
interview biasanya kita
lakukan, jika kita
hendak menulis feature
baik profile atau personal
feature, ataupun adventure feature,
bahkan juga historical
feature. Profile atau
personal feature, adalah
misalnya kisah keberhasilan
seseorang. Adventure feature,
adalah misalnya kisah
seorang yang selamat
dalam peristiwa jatuhnya
pesawat terbang, atau
kisah pengalaman anggota
SAR waktu mencari
orang yang hilang
di gunung yang
berhutan lebat. Historical
feature dalam kaitan
personality interview, adalah
feature tentang riwayat
hidup seseorang.
Adapun tokohnya
bisa seseorang yang
menduduki jabatan penting.
Misalnya personality interview untuk
menulis personal feature mengenai
diri seorang presiden atau siapa
pun. Bisa juga
seseorang yang terkenal
karena profesinya, misalnya
bintang film. Tapi
juga seseorang yang
sebelumnya tidak dikenal,
namun tiba-tiba menjadi
pusat perhatian umum,
karena misalnya melakukan
suatu jasa; umpamanya
seorang anak gembala
di desa, yang
dengan suatu cara
berhasil meyakinkan masinis
kereta api agar menghentikan
kereta apinya, karena
di depan ada
bagian rel yang
terbawa longsor.
BERDASARKAN
PELAKSANAANNYA
1. Wawancara yang
direncanakan
Personality
interview bisa kita
lakukan dengan merencanakannya lebih
dulu, dan sebaiknya
memang kita rencanakan
lebih dulu. News interview
pun sering kali bisa
kita lakukan dengan
memberitakan pendapat tokoh-tokoh
tertentu mengenai suatu
permassalahan. Kita tentukan
topiknya. Kita rencanakan
siapa saja yang
hendak kita wawancarai.
Kita susun pokok-pokok
pertanyaan yang akan
kita ajuka. Kita hubungi
orang-orang yang hendak
kita wawancarai itu,
untuk meminta kesediaannya.
2. WAWANCARA MENDADAK
Wawancara mendadak atau casual interview kita
lakukan tanpa merencanakannya lebih
dulu, misalnya kita memperoleh
informasi bahwa gaji
pegawai instansi anu
dirampas oleh komplotan
penodong ketika sedang
dibawa dari kantor
bendaharawan negara. Kita
cepat-cepat mendatangi tempat
kejadian. Jika mereka
masih ada di
tempat kejadian, kita
wawancarai petugas instansi
anu yang membawa
uang tadi dari
KBN (Kantor Bendahara Negara).
Kita wawancarai saksi-saksi
mata. Jika petugas
pembawa uang dan
petugas-petugas kepolisian sudah
berangkat ke kantor
kepolisian, kita kejar
mereka ke sana,
dan kita usahakan
mewawancarainya.
Kita bisa
pula melakukan casual interview
dengan seorang pejabat
atau tokoh ketika
kita menghadiri suatu
resepsi. Jamuan makan
atau acara lain.
Misalnya kita bertugas
menghadiri suatu resepsi .
Kita lihat gubernur
hadir. Kita teringat
pada sesuatu yang
perlu kita tanyakan
kepada gubernur. Kita
bisa melakukan casual interview. Ini
bisa dengan mudah
kita lakukan pada
kesempatan resepsi berdiri.
Casual interview
agak sulit kita
lakukan pada resepsi
duduk. Adalah tidak
sopan tentunya, jika
kita nyelonong begitu
saja ke tempat
gubernur duduk. Harus kita cari
dan tunggu kesempatan
lain.
3.
WAWANCARA TERTULIS
Ada kalanya
kita harus melakukan
wawancara secara tertulis,
karena memang ada
orang-orang yang hanya
bersedia diwawancarai secara
tertulis. Pertanyaan kita
ajukan secara tertulis,
dan jawaban pun
akan diberikan secara
tertulis pula. Kelemahan
dari wawancara tertulis,
kita tidak bisa
mengembangkan wawancara itu
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru.
Tapi ada kalanya
orang yang hendak
kita wawancarai hanya minta
kita mengajukan dulu
pertanyaan-pertanyaan secara
tertulis. Dalam wawancara
jenis ini kita
masih berkesempatan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan baru yang
kita angkat jawaban yang
diberikan.
4. WAWANCARA LEWAT
TELEFON
Kita bisa
boleh melakukan wawancara
melalui telepon. Keuntungannya
yang pasti kita
tidak usah membuang-buang waktu
untuk perjalanan bolak-balik.
Lagi pula perhatian
orang yang kita
wawancarai akan banyak
tertumpah pada pembicaraan
dengan kita.
Tapi wawancara
melalui telefon hendaknya hanya kita
lakukan :
a.
Jika persoalan yang
kita tanyakan tidak
terlalu kompleks, tidak
Terlalu banyak
statistik atau bahkan
pengejaan nama.
b. Jika
pertanyaan yang hendak
kita ajukan tidak
terlalu banyak.
c. Jika orang
yang bersangkutan sedang
berada di luar
kota dan jaraknya
cukup jauh. Misalnya
kita di Cirebon,
sedangkan yang perlu
kita wawancarai adalah
gubernur Maluku yang
pada saat itu
sedang berada di
posnya di Ambon.
Kita hendaknya
tidak melalui telefon,
jika kita mengadakan
personality interview. Wawancara
melalui telepon hendaknya
kita batasi pada news
interview.
Ada jenis
wawancara melalui telefon
yang khusus. Kadang-kadang ada
pembaca/pemirsa secara suka
rela menelefon menyampaikan
informasi. Percakapan kita dengan
pembaca/pemirsa tersebut adalah
juga wawancara. Tapi
informasi yang diberikannya
jangan kita telan begitu
saja. Kita haarus
melakukan recheking. Bahkan segera
setelah percakapan selesai,
hendaknya kita menelefon
nya kembali, untuk mengetahui apakah
ia tidak menggunakan
alamat palsu. Karena
itu sebelum percakapan
putus, harus kita
tanyakan nomor telefon (bukan hp) dan
alamatnya.
5. KONFERENSI PERS
Konferensi pers
hakikatnya adalah wawancara
juga, tetapi secara
massal, karena dihadiri
oleh banyak wartawan
dari berbagai surat
kabar, kantor berita,
majalah, radio dan televisi bahkan cyber. Dengan demikian
dari konferensi pers,
kita tidak bisa
memperoleh keterangan/atau infomasi
eksklusif, sebab didengar
oleh semua wartawan. Namun demikian,
harus kita usahakan
untuk hadir pada
konferensi pers tersebut. Apa
lagi jika kita ketahui
yang akan memberikan
keterangan adalah pejabat
atau tokoh penting.
Ketidakhadiran kita akan
menyebabkan media kita tidak
bisa memberitakan permasalahan
yang menjadi topik
dalam konferensi pers bersangkutan. Dan
ini akan mengecewakan
pembaca.
Lazimnya dalam
konferensi pers ada
pembatasan jumlah pertanyaan
yang diajukan oleh
setiap wartawan. Bahkan
ada kalanya satu wartawan,
satu pertanyaan. Karena
kita harus mempersiapkan
pertanyaan yang baik,
yang sekiranya bisa
memancing jawaban yang
mengait berbagai aspek
dari permasalahan yang menjadi
topik dalam konferensi pers
tersebut. Hindari pertanyaan yang hanya
memancing jawaban ”ya”, atau ”tidak”.
Mungkin juga
dalam konferensi pers
tidak ada pembatasan
jumlah pertanyaan yang
diajukan oleh setiap
wartawan. Gunakanlah kesempatan
demikian sebaik-baiknya tapi
jangan pula menyita
waktu terlalu banyak.
Berikan kesempatan kepada
wartawan-wartawan lain justru
memancing keterangan yang
lebih penting,
Pertanyaan yang
sangat eksklusif sebaiknya kita simpan dulu, jangan
kita ajukan dalam forum
konferensi pers. Usahakan
mendapat kesempatan
omong-omong empat mata dengan
orang yang memberikan
keterangan pada konferensi
pers itu. Jika
kesempatan demikian ada,
ajukanlah pertanyaan eksklusif
tadi. Jika kesempatan
tidak kita peroleh,
dan memang biasanya
sulit kita peroleh,
cari kesempatan lain
secepatnya.
Agar berita
kita ada juga
bedanya dengan yang
disiarkan media lain jika
waktu masih memungkinkan,
usahakan mewawancarai satu
atau lebih sumber
lain. Gali dari
mereka tanggapan terhadap permasalahan yang
menjadi topik dalam
konferensi pers tadi.
Atau gali informasi
tambahan dari mereka.
PERSIAPAN
PERMINTAAN KESEDIAAN
Pekerjaan wartawan
memang berlomba dengan
waktu. Seringkali wartawan
mewawancarai seseorang dalam
waktu secepatnya. Itu
tidak berarti wartawan
boleh sekehendaknya sendiri
menyerobot waktu orang
yang hendak diwawancarainya.
Jika hendak
mewawancarai seseorang, ajukan
permintaan dengan sebaik-baiknya. Jangan
main serobot. Jika
kita terdesak oleh
waktu, jelaskan hal
itu secara baik-baik,
dan yakinkan yang
bersangkutan bahwa keterangannya
sangat kita perlukan.
Jika tidak
terdesak oleh waktu,
ajukan permintaan kita
beberapa hari sebelum
hari yang kita
rencanakan. Rundingkan baik-baik waktu yang paling
tepat bagi kita
maupun bagi yang
bersangkutan. Bahkan pokok
permasalahan yang hendak
kita jadikan topik
wawancara sebaiknya kita
jelaskan, agar yang
bersangkutan dapat mempersiapkan
segala sesuatunya.
PERTANYAAN
Pertanyaan-pertanyaan yang
baik adalah kunci
bagi keberhasilan wawancara.
Seperti diingatkan oleh
William Metz, sudah
merupakan aksioma (sesuatu yang
pasti), bahwa biasanya
yang kita peroleh
dari suatu wawancara
hanyalah jawaban-jawaban saja
terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang kita
ajukan. Hanya sesekali
kita bisa memperoleh
lebih dari yang
kita tanyakan.
Karena itu
pertanyaan-pertanyaan harus kita persiapkan lebih
dulu. Kita masuki
wawancara dengan membawa
pertanyaan-pertanyaan yang sudah
kita persiapkan itu. Tentu saja
kita tidak boleh
hanya terpaku pada
pertanyaan-pertanyaan yang sudah
kita persiapkan. Kita
hanya bisa mengembangkan
wawancara kita dengan
menggali
peertanyaan-pertanyaan baru berdasarkan
jawaban-jawaban yang diberikan
oleh orang yang kita
wawancarai. Dengan demikian
akan dapatlah kita memperoleh
hasil yang lebih
baik.
Tidak ada
patokan tentang berapa
banyak pertanyaan yang
sebaiknya kita persiapkan.
Pokoknya seberapa yang
kita perlukan, sehingga
dengan jawaban-jawabannya kita
bisa menghasilkan sekurang-kurangnya satu
berita. Tapi harus kita
perhatikan, bahwa enam
pertanyaan yang tidak
saling mengait akan
menghasilkan enam alinea
yang tidak saling
sambung, dan pada gilirannya
akan menghasilkan berita
yang tidak jelas alurnya.
Hindari pertanyaan-pertanyaan yang
bersifat umum. Kepada
pimpinan rombongan anggota
DPR yang
baru selesai meninjau
daerah kita misalnya,
jangan kita bertanya,
” Bagai mana kesan-kesan
Bapak?”. Arahkan pertanyaan
kita pada sesuatu yang
spesifik, pada satu
atau lebih permasalahan
tertentu. Misalnya :
Pertanyaan :
Masalah apa yang
menjadi fokus perhatian
Anda?
Jawaban : Pemantauan musik lebaran.
Berdasarkan jawaban
tersebut, selanjutnya arahkan
pertanyaan-pertanyaan kita pada
berbagai aspek pelaksanaan
mudik tersebut.
Waktu menyusun
pertanyaan-pertanyaan yang akan
kita ajukan dalam
suatu wawancara, ada
baiknya kita bertanya
pada diri sendiri,
”Apakah yang dapat
saya tanyakan kepadanya dan
yang sekiranya bisa
menghasilkan berita utama?
Selanjutnya selama berwawancara
pasanglah telinga setajam
mungkin untuk dapat
menangkap sesuatu yang
sekira nya bisa kita
jadikan lead (teras berita) kita.
Jika sudah memperolehnya, ajukan
pertanyaan-pertanyaan untuk mengembangkannya.
Untuk dapat
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang memiliki
daya tembus yang kuat,
kita harus menguasai
latarbelakang permasalahan yang
kita jadikan topik
wawancara.
The GOSS
Formula
William
Metz di dalam
bukunaya mengutip apa
yang disebut ”Rumus
GOOS” (The GOOS
Formula). Rumus ini
dikembangkan oleh Larue
Gilleland, profesor ilmu
jurnalistik di Universitas
Nevada.
Rumus tersebut
didasarkan pada teori,
bahwa hampir setiap
individui atau organisasi
yang menjadi objek
pemberitaan, mempunyai tujuan
atau maksud, dan
menghadapi --atau akan
menghadapi -- berbagai rintangan. Diasumsikan juga,
bahwa objek pemberitaan
itu telah mendapatkan – atau sedang mancari -- cara-cara
mengatasi
rintangan-rintangan
tersebut. Dan untuk
mencapai tujuan tadi
objek pemberitaan sudah
pula mempunyai program
atau jadwal waktu.
GOOS adalah
singkatan dari Goal (tujuan), Obstacle (rintangan),
Solution
(pemecahan), Start (mulai penggarapan).
Rumus GOOS
dapat kita jadikan
landasan untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Goal-revealing
question (pertanyaan-pertanyaan untuk
mengungkap tujuan). Misalnya,
“Apa tujuan organisasi
anda?.
2. Obstacle-revealing
question (pertanyaan-pertanyaan untuk
mengungkapkan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi).
Misalnya
“kesulitan-kesulitan apa yang
Anda hadapi?” Atau
“Sudah sampai di
mana tujuan itu
tercapai sekarang?”
3.
Sollution-revealing question
(pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap
upaya yang telah,
sedang atau akan
dilaksanakan untuk mengatasi
kesulitan atau rintangan
). Misalnya,”Bagaimana Anda
mengatasi problem itu?” Atau
”Apa rencana Anda
untuk mengatasi konflik-konflik tersebut?”
4.
Start-revealing question
(pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkap
bagaimana suatu organisasi
mulai berdiri, atau
suatu kegiatan mulai
dilaksanakan, atau gagasan
siapa). Misalnya, ”kapan
program mulai dilaksanakan?”
Tatalaksana
MENCIPTAKAN KEAKRABAN
Wawancara
biasanya akan memberikan
hasil yang sangat
baik, jika berlangsung
secara wajar, ramah dan
santai serta dalam
suasana penuh keakraban
antara kita dengan orang
yang kita wawancarai.
Karena itu kita
hendaknya berusaha menciptakan
dulu suasana akrab
sebelum memulai wawancara
kita, serta berusaha
memelihara keakraban itu
sepanjang wawancara berlangsung.
Seringkali keakraban dapat
tercipta, apabila kita
tidak langsung berbicara
tentang hal-hal yang
akan kita tanyakan,
melainkan lebih dulu
berbicara tentang hal-hal
yang bersifat pribadi,
misalnya tentang apa
yang menjadi hobi orang yang
kita wawancarai.
“Jika seseorang
enggan berbicara tentang
hal- hal yang hendak
kita wawancarakan kita
harus lebih dulu
mengajaknya berbincang-bincang mengenai
beberapa hal yang tidak
ada kaitannya dengan
masalah yang hendak
kita tanyakan. Misalnya
berbincang-bincang mengenai potret
isterinya atau apa
saja yang ada di
ruangan tempat kita
diterima oleh tuan
rumah. Atau tentang
gosip yang sedang ramai
dipercakapkan orang banyak”,
kata Curtis D. Macdougall
yang selanjutnya menambahkan,
”jika es itu
telah mencair dan
sikap ramah mulai
nampak, barulah kita
secara hati-hati mulai
berbicara tentang hal-hal
yang menjadi tujuan
kunjungan kita sesungguhnya”.
Untuk menciptakan
keakraban, bahkan jika
perlu kita berguraulah
dulu. Misalnya seperti
yang diceritakan oleh
Saul Pett tentang
wawancaranya dengan Walikota
New York, John Lindsay.
Pett tahu, Lindsay
seorang humoris. Pett
langsung berkata, ”Ada
suatu masalah serius
tentang masalah serius
yang ingin saya
tanyakan kepada Anda.
Saya harap Anda
bersedia secara terus
terang menjawabnya”. Pett melihat
pak walikota agak
tersentak dan siap
meendengarkan dan menjawab
pertanyaan yang diperkirakan
sulit itu.
Tapi pertanyaan
Pett yang pertama
ternyata tidak langsung
mengenai masalah yang akan
menjadi topik wawancaranya.
Pett bersendagurau dulu
dengan mengajukan pertanyaan
yang bukan-bukan. Ia
bertanya, ”Apakah Anda
berkehendak menikahkan puteri
Anda dengan seorang
Walikota New York?”
Karena Lindsay seorang
humoris, maka peretanyaan
Pett yang bukan-bukan
itu malah membuat
suasana semakin akrab,
dan wawancara menjadi
sangat lancar.
Karena itu
jika kita akan mewawancarai seseorang
yang belum kita
kenal, sebaiknya kita
mencari dulu informasi
tentang sifat dan
watak pribadinya, maupun
tentang apa yang menjadi
hobinya, bahkan juga
tentang apa yang tidak
disukainya. Jika kita
mewawancarai seseorang yang
sudah kita kenal
kita ketahui sifatnya, watak pribadinya,
hobinya dan apa
yang disukainya.
Tapi teknik
wawancara yang tidak
langsung berbicara tentang
masalah yang akan
kita tanyakan itu,
tidak selamanya harus
kita gunakan. Dalam
wawancara spot-news (wawancara di
tempat kejadian), pendekatan
terbaik langsung. ”Jumpai
subjek Anda, langsung
berondong dia dengan
pertanyaan-pertanyaan. Lalu cepat-cepat
pergi .Wawancara macam
ini merupakan persoalan
kerja cepat dan
jangan membiasakan diri
membuang-buang waktu dengan
menciptakan keakraban”, kata
William Metz.
Lain hal
nya dengan wawancara yang direncanakan/dipersiapkan lebih
dulu, kata Metz,
kedua pihak punya
waktu yang memang
sudah disediakan dan
dijanjikan sejak beberapa
hari sebelumnya. Banyak
penulis yang mengkhusus kan diri
dalam personallity interview, menyatakan
bahwa pendekatan tidak
langsung adalah yang
terbaik. ”Mulailah dengan
omong-omong tentang hobi,
tentang apa-apa yang tampak
di sekitar tempat wawancara
diadakan, tentang soal-soal
lain yang remeh,
bahkan tentang iklim.
Kemudian secara bertahap
masukilah wawancara dengan
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang Anda
maksudkan. Jadi ratakan dulu
jalan Anda ke
wawancara. Jangan langsung
mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, apa lagi
yang pelik”, pesan
William Metz.
Senada
dengan William Metz,
Saul Pett berpesan,
”Jika wawancara diadakan
di tempat kajadian,
kita tidak boleh
bertindak bodoh dengan
terlalu banyak berputar-putar dulu.
Tapi jika itu personality
interview, Anda mamang
sebaiknya menggunakan teknik tidak
langsung ”.
PENYESUAIAN DIRI
Keberhasilan wawancara
bergantung juga pada
sikap dan tingkah
laku kita selama
berwawancara. Penyesuaian diri
sangat penting. Tentu
saja kita yang
harus manyesuaikan diri dengan
orang yang kita
wawancarai. Bukan sebaliknya.
Ada hal-hal
yang mungkin sepele,
tetapi bisa menimbulkan
pengaruh besar terhadap
kelancaran wawancara, dan
bisa merusak suasana
akrab yang semula
sudah berhasil kita
ciiptakan. Misalnya soal
merokok. Ada orang-orang
yang bukan saja
ia sendiri tidak
suka merokok, tetapi
juga merasa terganggu
jika ada orang
lain di dekatnya. Maka
sekalipun kita perokok,
tahankanlah untuk tidak
merokok, jika kita
tahu orang yang
kita wawancarai adalah
tipe orang yang
tidak suka merokok,
apalagi jika ia
merasa terganggu jika
ada orang lain
yang merokok di
dekatnya.
Bahkan pakaian
pun harus kita
sesuaikan. Jika orang
yang kita wawancarai
sudah berusia lanjut,
maka sebaiknya kita
tidak datang dengan mengenakan
pakaian yang berwarna
mencolok. Pilihlah pakaian
berwarna teduh. Jika
orang yang kita
wawancarai kita kenal
sebagai orang yang
senantiasa berpakaian rapi. Kita harus
datang dengan pakaian
serapi-rapinya pula.
”Dalam banyak hal
Anda harus seperti
mempelai dan berpakaian
rapi. Tapi tidak
harus selalu demikian.
Anda harus menyesuaikan
pakaian Anda dengan
situasi. Jika Anda akan
mewawancarai pembalap sepeda
motor, atau seorang
pengawas di pantai,
atau pengausaha peternakan
di rancnya, atau pekerja
tambang, pakaian Anda
sebaiknya serampangan. Mungkin
blue jeans
dan T-shirt”, Kata William
Metz.
BUKAN INTEROGASI
Ada wartawan
yang melakukan wawancaranya
sedemikian rupa, sehingga seperti sedang
memeriksa atau menginteroggasi tertuduh
atau terdakwa. Sikap
atau cara demikian
harus kita jauhi.
Kita datang untuk
mewawancarai, bukan untuk
memeriksa orang, untuk
meminta keterangan atau
informasi, bukan melakukan
interogasi.
”Sikap wartawan
amat besar pengaruhnya,
bahkan menentukan apakah
wawancara akan memberikan
hasil yang baik,
atau gagal sama
sekali”, kata F.G.Arpan,
wawancara tidak akan
menghasilkan hasil yang
baik, jika seperti
di katakan Arpan,
wartawan bersikap kasar,
atau congkak, atau
terlalu berprasangka terhadap
orang yang diwawancarainya. Atau
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
wartawan bersifat prasangka
yang berlebih-lebihan.
Ada pula
wartawan yang tidak
bisa mengekang diri, sehingga wawancaranya
berubah menjadi perdebatan.
Ingat, tujuan wawancara
adalah untuk meminta
keterangan. Wawancara bukan
forum diskusi atau
perdebatan. Wartawan harus
ingat, bahwa di
dalam wawancara ia
adalah penanya. Boleh
saja kita mengungkapkan
pendapat. Tapi itu
semua sekadar untuk
memancing tanggapan.
Seperti diungkapkan oleh
William Metz, ada
sementara wartawan yang
mengubah wawancara menjadi
forum tukar pikiran,
dengan maksud menonjolkan
ilmu pengetahuan yang
baru saja dipelajarinya. Metz
berpesan, ”Hindari lah
godaan untuk menonjolkan
kepandaian baru kita.
Pengetahuan Anda mengenai masalah
yang sedang menjadi
topik wawancara haruslah
Anda tunjukan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan yang
tajam menusuknya”.
Jika kita
akan berwawancara, memang
sebaiknya kita mempelajari
dulu latar belakang
permasalahan yang hendak
kita jadikan topik
wawancara kita. Gunanya
ialah agar kita
dapat memancing tanggapan.
Atau seperti kata
Curtis D.Mac Dougall, dengan
menyisipkan secara cerdik
pengetahuhan kita itu
ke dalam pertanyaan-pertanyaan yang
kita ajukan, kita
akan bisa mencegah
kemungkinan adanya penekanan
dari orang yang
kita wawancarai, atau
mencegah dia memberikan
keterangan –keterangan yang tidak
benar.
Bagaimana,
jika orang yang
kita wawancarai memberikan
jawaban yang bertele-tele, malah ngelantur,
hampir-hampir tidak ada
ujung pangkalnya.
”Jika waktu
Anda banyak, biarkan ia mengigau,
kemudian pilihlah nanti apa
yang ingin Anda
gunakan”. Menurut Metz yang segera
mengingatkan, agar kita jangan berkata , sekalipun secara
diplomatis , ”Mohon
perhatian, saya tidak ingin
mengatahui apa yang
Bapak kemukakan, yang
ingin saya ketahui ,
ialah apa yang
saya tanyakan ke pada
Bapak”. Menurut Metz,
pengekangan demikian, sekalipun
secara sangat taktis
kita melakukannya, dapat
menyebabkan orang yang
kita wawancarai hanya
memberikan keterangan singkat.
Terutama dalam personality interview, timbulnya
sikap demikikan penting
sekali kita mengusahakan, agar percakapan
tidak sampai terhenti
di tengah jalan.
Untuk penulisan feature mengenai
pribadi seseorang, jawaban-jawaban yang
mengungkapkan kandungan hati
dan watak tokoh
yang menjadi sasaran
tulisan kita, sangatlah berguna.
Jika waktu
kita terbatas, tentu
saja harus kita
usahakan secara taktis
tapi tegas menggiring
orang yang kita
wawancarai pada jalur
pembicaraan yang telah
kita gariskan dengan
pertanyaan-pertanyaan yang sudah
kita siapkan. ”Jika
tidak, maka Anda
tidak akan membawa
banyak hasil ketika
Anda kembali ke tempat
kerja Anda ”, kata
William Metz.
”Biarkan orang
yang kita wawancarai
itu banyak bicara.
Namun jaga, agar ia
tetap pada jalur persoalan
yang kita tanyakan”, kata Arpan.
MEMBIKIN CATATAN
Beberapa penulis
buku jurnalistik menganjurkan,
agar pada waktu
sedang berwawancara sebaiknya
kita tidak terlalu
banyak mencatat. Menurut mereka
pembikinan catatan bisa
merusak suasana. Curtis
D. Macdougall adalah seorang
di antara yang memberikan
anjuran demikian. Ia
termasuk orang yang
berpendapat, bahwa wawancara
yang paling baik
adalah yang berlangsung
secara wajar, ramah , akrab dan
santai.” Adalah bijaksana dalam
wawancara yang bersuasana
demikian kita sedikit
mungkin membikin catatan.
Membikin satu
catatan saja seringkali
menimbulkan bencana. Jika kita
bisa menjadikan orang
yang kita wawancarai
lupa ia sedang
berbicara untuk pemberitaan,
kita akan dapat
lebih banyak dari
pada jika orang
itu terus-menerus diingatkan
bahwa kita mencatat kata
demi kata yang diucapkannya.
Wartawan harus
memiliki kemampuan untuk
mengingat–ngingat dalam
jangka waktu tertentu,
satu jam atau
lebih, semua ucapan
penting dari orang
yang diwawancarainya. Wartawan
harus segera membikin
catatan dalam ingatannya
tentang setiap pernyataan
yang penting yang
akan digunakannya nanti,
dan harus mencoba
mengulanginya kembali di
dalam ingatannya selama wawancara
berlangsung. Setelah wawancara
berakhir wartawan harus
menggunakan kesempatan pertamanya
untuk menuangkan ke
atas lembaran-lembaran buku
catatan
pernyataan-pernyataan
penting tadi dan hal-hal
lain yang perlu.
William
Metz mengutip pesan
dua penulis. Seorang di antaranya
berpesan, “Kecuali jika
orang yang kita
wawancarai menghendaki
dikutip ucapannya kata
demi–demi kata, hindari penggunaan
buku caatatan yang
terang –terangan, sebab hal
itu sering menyebabkan
orang yang kita
wawancarai diingatkan, bahwa
ia sedang dikutip
dan pada gilirannya
hal ini menyebabkan
ia berbicara tidak
bebas . Jika perlu
membikin catatan, lakukanlah
sedemikian rupa sehingga
tidak mengganggu”. Menurut
Metz, teksbook lain mengatakan,
”Selama berwawancara, terutama
dengan orang yang
belum biasa berbicara
dengan wartawan, pembikin
catatan harus dilakukan
secara hati-hati”.
William Metz
meragukan apa yang dikatakan
oleh kedua penulis
ter sebut. ”Tidak mencatat
dengan hati-hati? Tidak
masuk akal, nonsens!”, kata Metz. Menurutnya,
bagaimana bisa mencatat
tanpa mengganggu, jika
itu dilakukan wartawan
pada saat ia
sedang berhadapan muka
dengan orang yang
diwawancarainya.
Metz
mengakui, dalam kasus
yang ekstrem, orang
yang kita wawancarai
mungkin tiba-tiba jadi
kaku dan menutup mulutnya setelah ia
melihat kita mencatat
ucapan-ucapannya. Jika demikian
halnya, cara yang terbaik
menurut Metz, adalah
kita letakan pensil
dan bloknote, lalu berbincang-bincanglah. Percayakan
pada daya ingatan
kita untuk mencatat
dan mengingat-ingat kembali intisari
wawancara itu. Sambil
membiarkan berlalu begitu
saja satu dua
kalimat yang sesungguhnya
baik kita kutip
langsung ke dalam berita.
Tapi Metz mengingatkan,
bahwa bagaimanapun daya
ingatan manusia itu
terbatas. Karena itu
menurut dia, kita
jangan terlalu percaya
pada ingatan kita, terutama jika
sudah menyangkut ”penyimpanan”
fakta-fakta. Maka kata
Metz ”tulislah fakta-fakta
itu, terutama mengenai
nama, waktu , tanggal atau statistik.
Dan sesaat sebelum mulai
menulis berita, bikin lebih
banyak catatan tentang
apa-apa yang akan
digunakan”.
William Metz
mengingatkan, bahwa pembikinan
catatan waktu sedang
wawancara itu, juga
penting, dan karenanya
harus kita lakukan,
untuk melindungi diri
kita sendiri maupun
sumber. Metz menunjuk
kenyataan kadang-kadang setelah
setelah menyiarkannya, orang
yang kita wawancarai
itu mengatakan, ”Itu
salah. Itu tidak benar.
Saya tidak mengatakannya”. Menghadapi
orang demikian, catatan
yang kita bikin
pada waktu sedang
berwawancara dan di depan
mata orang yang kita
wawancarainya, sangatlah berguna.
Maka cara
yang paling baik
adalah :
1. Tidak
usah mencatat kata
demi kata ucapan
orang yang kita
wawancarai. Lagi pula
mencatat kata demi
kata bisa menyebabkan
kita terjebak dalam
keadaan satu pihak
catatan kita akhirnya
tidak lengkap, dan
rugi sekali jika
yang tidak tercatat
i tu justeru hal-hal
yang penting. Di lain
pihak ingatan kita
juga tidak dapat
menyerap dan merekam
dengan baik ucapan
yang kita wawancarai,
karena konsentrasi kita
jadi terpecah kepada
pekerjaan
mendengarkan/menangkap dan mencatat ucapan orang.
2. Kita
hanya menulis catatan,
jika ada hal-hal
penting saja, terutama
data-data. Yang lain-lainnya
kita catat saja
dalam blocknote kita ssegera
setelah wawancara selesai.
3. Jelaskan
kepada orang yang
kita wawancarai, bahwa
penulisan catatan mengenai
hal-hal penting harus
kita lakukan, agar
kita tidak membuat
kesalahan atau kekeliruan
di dalam pemberitaannya. Kata kan,
jika pemberitaannya salah,
ia sendiri bisa
mengalami kesulitan.
TAPE RECORDER
Penggunaan tape
recorder untuk merekam keterangan
orang yang kita
wawancarai, adalah cara yang
aman. Tapi tidak
semua orang yang
di wawancarai mau keterangannya
direkam. Dengan kata
lain, penggunaan tape recorder bisa menyebabkan
orang yang kita
wawancarai tidak berbicara
secara bebas.
William Metz
setuju dengan penggunaan tape
recorder, sebab katanya
”Dengan tape recorder Anda memperoleh
semua dan memperolehnya dengan tepat”.
Metz bahkan, tape
recorder adalah alat
terbaik yang menjamin
keakuratan pengutipan.
Curtissss D. MacDougall
tidak menyangsikan kegunaan
tape recorder. ”perekam
dengan tape recorder adalah
upaya terbaik yang
memungkinkan setiap reporter
dapat menjaga keakuratan ”, katanya.
Tapi sekalipun
menggunakan tape recorder, sebaiknya
kita tetap membikin
catatan terutama tentang
bagian-bagian dan hal-hal
penting. Jika tape
kita ada petunjuk angkanya
dan jika keadaan
memungkinkan, cukup kita
mencatat pada angka
berapa bagian-bagian penting itu.
Jika catatan sama
sekali tidak kita
bikin, maka pada
saat kita menulis
berita, kita harus
mendengarkan dari awal
sampai akhir lebih
dulu untuk memilih
bagian-bagian yang akan kita
ambil. Terlalu banyak waktu
yang harus kita
habiskan untuk itu.
Sedangkan jika kita
membikin catatan, maka
kita tidak perlu
mendengar kan dulu rekaman
dari awal sampai
akhir. Tape recorder kita
gunakan sebagai alat
pembantu, terutama tempat
untuk mencek dan agar
kita dapat secara
tepat mengutip kalimat-kalimat penting.
STENOGRAFI
Keakuratan adalah
syarat mutlak setiap berita.
Keakuratan menurut kecermatan
dan ketelitian menangkap
dan mencatat keterangan
seseorang di dalam wawancara
atau ucapan seseorang
di dalam pidato.
Kita memang tidak
perlu mancatat kata
demi kata keterangan
atau pidato seseorang. Sudah
baik dan cukup
jika kita dapat
mencatat dengan tepat
bagian-bagian penting dari
keterangan atau pidato
itu. Yang penting
kita catat dan
mencatatnya dengan tepat, terutama
kalimat-kalimat yang sekiranya
baik untuk kita
kutip secara langsung
dalam berita nanti,
serta hal-hal yang
menyangkut statistik, nama, usia, pekerjaan, alamat serta angka-angka.
Dalam praktik,
untuk bisa mencatat bagian-bagian tertentu
serta hal-hal yang
menyangkut statistik itu
saja, kecepatan tangan
kita sering tidak
bisa mengejar kecepatan
orang berbicara. Itu
jika kita membikin
catatan dengan tulisan
biasa.
Maka wartawan
harus berterima kasih kepada
orang yang telah
menciptakan tulisan steno. Dengan
menggunakan tulisan steno itu
bisakah kita mengimbangi
kecepatan aliran kata-kata
dari mulut orang
yang sedang kita
wawancarai atau sedang
berpidato. Pencatatan bagian-bagian
penting serta hal-hal
yang menyangkut statistik
atau data bisa
kita lakukan dengan
cermat, bahkan mencatat
kata demi kata pun
barangkali bisa.
Sayangnya
banyak sekali wartawan
yang tidak tertarik minatnya untuk
memiliki kecakapan menulis
steno. Bukan hanya
Indonesia. Umum nya wartawan
di Amerika pun kabarnya
tidak mamiliki kecakapan
tersebut. Padahal steno
sangat besar manfaatnya .
”Jika
Anda menambahkan kemampuan
menulis steno pada
bakat Anda, maka
Anda akan memiliki kemampuan
kelebihan dari reporter-reporter lain
yang dikaruniai kemampuan
tersebut”, kata Willliam Metz. Ia
menganjurkan, agar steno
dipelajari oleh setiap
orang yang berminat
menjadi wartawan.
KEAKURATAN
Berita yang
kita hasilkan dari
wawancara, seperti juga
dari cara-cara lain,
haruslah akurat. Untuk itu wawancara
kita tetap harus
pertahankan ketelitian dan kecermatannya. Waktu
berwawancara kita harus
menajamkan pendengaran kita
dan memusatkan perhatian kita,
bukan saja agar kita
dapat menangkap dan
menyerap selengkap mungkin apa
yang dikatakan orang
yang kita wawancarai,
tetapi juga demi keakuratan.
Keterangan yang
diberikan oleh saksi
mata juga jangan kita
telan begitu saja.
Penelitian menunjukan, saksi
mata juga bisa
keliru. Kekeliruan itu bisa diakibatkan oleh keterbatasan
fisik, misalnya penglihatan
pendengaran yang sudah
kabur, atau orang
yang bersangkutan pelupa.
Ketidakakuratan atau
kekeliruan keterangan yang
diberikan oleh saksi
mata, bisa juga
dikarenakan peristiwa yang disaksikannya itu
terjadi begitu mendadak,
sehingga ia sangat
terkejut dan tidak
mengetahui dengan pasti
apa yanga sesungguhnya terjadi, atau
bagaimana duduk kejadian
sebenarnya.
Karena itu
usahakan, agar saksi
mata yang kita
wawancarai tidak cuma
satu orang, tetapi
sebanyak mungkin.
Di
samping itu ada
pula faktor yang
oleh para ahli
jiwa disebut persepsi
yang selektif dan
kenangan yang selektif.
Artinya begini: setiap
orang cenderung mengenang
kembali dan ingin
mengulang kembali pengalamannya
atau apap-apa yang
menyenangkan atau yang
berkenan di hatinya.
Kecenderungan demikian bisa
menyebabkan keterangan yang
diberikan seseorang dipengaruhi
oleh kenangan manisnya
atau apa-apa yang
berkenan di hatinya, sehingga tidak
murni, tidak atau
kurang objektif.
Dalam kaitan
dengan persepsi selektif
dan kenangan selektif
itu, mungkin orang
bersangkutan tidak dengan
sengaja atau dengan
sadar memberikan keterangan
yang tidak murni,
tidak objektif, bahkan
keliru. Tapi ada
juga orang-orang yang dengan
sengaja dan sadar
sudah memersiapkan diri
untuk memberikan keterangan-keterangan yang
tidak benar, yang
menyesatkan.
Keterangan yang
salah, keliru, atau
tidak tepat, dapat
juga keluar dari
seseorang yang kurang
mempunyai perhatian terhadap
peresoalan yang kita
tanyakan. Tapi ada
juga orang-orang yang
merasa dirinya ahli
dalam bidang permasalahan
yang kita tanyakan,
padahal merka mengerti
juga tidak , sehingga
keterangannya salah.
Keterangan yang
salah bisa juga
bersumber dari kesalahan wartawan,
yaitu mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
kurang tepat merumuskanya,
atau membingungkan orang
yang kita wawancarai.
Atau bisa juga
karena pertanyaan kita
terlalu lancang,
berlatarbelakang rasa kurang
senang terhadap pribadi
orang yang kita
wawancarai atau berprasangka
jelek terhadapnya.
Kita jangan
terbujuk atau disesatkan
oopeh orang yang
kita wawancarai. Kita
jangan kehilangan netralitas.
”Kita semua memang
dipengaruhi oleh segala
hal-hal yang menyentuh
hidup kita, sehingga
tidak ada orang
yang mampu bersikap
objektif secara mutlak.
Tapi wartawan profesional
haruslah berusaha untuk
seobjektif mungkin”, kata
William Metz.
Dan barangkali
tidaklah sulit untuk
menjaga, agar berita
yang kita hasilkan
dari wawancara tidak
terlalu berwujud propaganda
orang yang kita
wawancarai, atau mengambil
alih fungsi tajuk
rencana.
ILMU JIWA
Wawancara bukan
pekerjaan mudah. Seringkali
wawancara lebih dari
sekadar mengajukan
pertanyaan kepada seseorang
dan mencatat jawaban-jawabannya. Seringkali
wawancara memerlukkan penerapan
ilmu jiwa, sehingga
kita dapat menciptakan keakraban
dengan orang yang kita
wawancarai, dan dengan
demikian orang tersebut
mau memberikan keterangannya
dengan lancar dan
lengkap.
William Metz
tidak secara khusus
mengatakan, bahwa wartawan
harus memiliki pengetehuaan tentang
ilmu jiwa. Tapi
adalah Prof. Dr. Floyd G. Arpan yang
mengingatkan, bahwa wartawan
harus berhadapan dengan
beraneka ragam sifat
dan tabiatnya. Wartawan akan
dapat mengatasi kenyataan
itu, jika mereka
benar-benar mempelajari ilmu
jiwa. ”Tanpa memelajari
ilmu jiwa, maka
kecakapan membuat berita,
kemahiran bahasa dan
kepandaian-kepandaian lain akan
menjadi sia-sia begitu
saja hanya karena
soal kejiwaan yang
amat sepele”, kata
Arpan.
Arpan menunjukan
kenyataan adanya wartawan-wartawan yang
gagal mencari berita
hanya karena mereka
kurang memiliki pandangan
mengenai bagaimana jiwa
manusia. Karena itu
salah satu syarat
wartawan yang baik,
menurut Arpan, adalah
memiliki pengetahuaan tentang
jiwa manusia. Arpan
menyayangkan kenyataan banyak
wartawan yang tidak
pernah membaca buku
ilmu jiwa, bahkan tidak
mengetahui apa itu
ilmu jiwa.
Pentingnya wartawan
memiliki pengetahuaan ilmu jiwa,
juga dikemukakan oleh
Sidney Kobre. Ia mengatakan,
reporter yang memiliki
pandangan dan latarbelakang
pengetahuaan psikologi dapat menyelam
jauh ke permukaan, apabila
menghadapi bahan berita
yang menyentuh aspek
psikologis. Reporter akan
dapat menggali sebab-musabab
suatu peristiwa atau
masalah secara mendalam
dan lalu menjelaskannya kepada
pembaca, jika dirinya
dilengkapi dengan pengetahuaan
psikologi, seraya mempelajari
dan membaca kepustakaan
mengenai masalah yang
sedang digarapnya, serta
mempertajam pandangannya lewat
pengamatan dan pengalaman.
”Di dalam
kenyataan kehidupan, dan
dengan demikian di dalam
berita yang dimaksudkan
untuk menceminkan kehidupan
secara realistis, tidak
ada pemisah antara ilmu
jiwa dengan ilmu
ekonomi. Reporter yang diterampilkan
oleh pendidikan dan latihan
pada kedua bidang
tersebut menjalin dan memadukan
ilmu jiwa dan ilmu ekonomi
dalam kedua bidang
tersebut menjalin dan
memadukan ilmu jiwa
dan ilmu ekonomi
ke dalam beritanya,
sehingga berbobot dan
secara brillian menerangi
kehidupan yang kontemporer”,
kata Sidney Kobre.
BROADCAST NEWSWRITING
( Kiat
Menulis Berita Media Siaran )
(Pius Pope – LPDS )
Secara umum tulisan untuk media siaran harus merujuk
pada prinsip KISS + SMOOTH
Keep It Short and “Stupid” (simple) + lancer dilupakan
K. Tim Wulfemeyer mengungkapkan 10 butir pegangan
berikut :
1. Tulislah berita anda
“easy on the eye as well as easy on the ear”. Usahakan agar si presenter mudah
membacanya dan khalayak mudah mendengar dan memahaminya.
2. Tulislah
berita dalam kata-kata anda sendiri. Jangan “membeo” pada keterangan atau naskah yang
anda “re-write”. Kecuali kata-kata yang kontroversial, harus sesuai dengan
aslinya. Jangan takut untuk tidak seperti kata-kata aslinya.
3. Gunakan
kalimat singkat tapi lancar dan tidak kaku (get a flow to your writing) sebab
tuturan sehari-hari selalu ”mengalir” (lancar).
4. Buanglah kata-kata
mubazir, khususnya ”adjectives” dan ”adverbs”.
5. Upayakan
sesingkat dan sepadat mungkin.
6. Tulislah secara ketat
”Write Tightly”, tapi jangan korbankan makna ”don’t sacrifice meaning”.
Masukkan unsur “why” dan unsur
terpenting dalam berita anda.
7. Jangan
menjejali kalimat anda dengan terlalu banyak fakta. Ingat, satu berita , hanya satu unsur penting : “one
at a time” – “ a sentence at a time “. Satu kalimat satu pikiran (topik).
8. Gunakan
kosa kata yang umum dan lazim. Kata-kata yang mudah didengar dan dipahami.
9. Talk your story out.
Make sure it sound right. Tulislah berita anda sambil ucapkan dengan jelas.
10.
Think and write the way you talk. (Prinsip ini adalah
prinsip yang disebut “Hey guess what:” yang bakal menjadi Lead Berita Anda. –
Hai tahu ndak : Capres X menang telak lho tadi pagi “. Maka itulah Lead anda : Capres X
menang telak tadi pagi . Ia mengalahkan
pesaingnya paling ketat Capres Z. X mendapat sekian suara tau sekian persen
d’).
MENULIS
FEATURES
Written by lpmaqua
Sunday,
03 June 2007
Source : http://persma.org
Farid Gaban
Mengapa feature?
Secara kasar karya
jurnalistik bisa dibagi menjadi tiga:
1.
Stright/spot News -- berisi
materi penting yang harus segera dilaporkan kepada publik (sering pula disebut
breaking news)
2.
News Feature -- memanfaatkan
materi penting pada spot news, umumnya dengan memberikan unsur human/manusiawi
di balik peristiwa yang hangat terjadi atau dengan memberikan latarbelakang
(konteks dan perspektif) melalui interpretasi.
3.
Feature -- bertujuan untuk
menghibur melalui penggunaan materi yang menarik tapi tidak selalu penting.
Dalam persaingan media yang
kian ketat tak hanya antar media cetak melainkan juga antara media cetak dengan
televisi, straight/spot news seringkali tak terlalu memuaskan. Spot news
cenderung hanya berumur sehari untuk kemudian dibuang, atau bahkan beberapa jam
di televisi. Spot news juga cenderung menekankan sekadar unsur
elementer dalam berita, namun melupakan background. Kita memerlukan berita yang
lebih dari itu untuk bisa bersaing. Kita memerlukan news feature -- perkawinan
antara spot news dan feature. Karena tradisi ini relatif baru, kita perlu
terlebih dulu memahami apa unsur-unsur dan aspek mendasar dari feature.
Apakah
feature?
Inilah batasan klasik
mengenai feature: ''Cerita feature adalah artikel yang kreatif, kadang-kadang
subyektif, yang terutama dimaksudkan untuk membuat senang dan memberi informasi
kepada pembaca tentang suatu kejadian, keadaan atau aspek kehidupan.''
Kreatifitas
Berbeda dari penulisan
berita biasa, penulisan feature memungkinkan reporter ''menciptakan'' sebuah
cerita. Meskipun masih diikat etika bahwa tulisan harus akurat -- karangan
fiktif dan khayalan tidak boleh -- reporter bisa mencari feature dalam
pikirannya, kemudian setelah mengadakan penelitian terhadap gagasannya itu, ia
menulis.
Subyektifitas
Beberapa feature ditulis
dalam bentuk ''aku'', sehingga memungkinkan reporter memasukkan emosi dan
pikirannya sendiri. Meskipun banyak reporter, yang dididik dalam reporting
obyektif, hanya memakai teknik ini bila tidak ada pilihan lain, hasilnya enak
dibaca. Tapi, reporter-reporter muda harus awas terhadap cara seperti itu.
Kesalahan umum pada reporter baru adalah kecenderungan untuk menonjolkan diri
sendiri lewat penulisan dengan gaya ''aku''. Kebanyakan wartawan kawakan
memakai pedoman begini: ''Kalau Anda bukan tokoh utama, jangan sebut-sebut Anda
dalam tulisan Anda.''
Informatif
Feature, yang kurang
nilai beritanya, bisa memberikan informasi kepada masyarakat mengenai situasi
atau aspek kehidupan yang mungkin diabaikan dalam penulisan berita biasa di
koran. Misalnya tentang sebuah Museum atau Kebun Binatang yang terancam tutup.
Aspek informatif mengenai penulisan feature bisa juga dalam bentuk-bentuk lain.
Ada banyak feature yang enteng-enteng saja, tapi bila berada di tangan penulis
yang baik, feature bisa menjadi alat yang ampuh. Feature bisa menggelitik hati
sanubari manusia untuk menciptakan perubahan konstruktif.
Menghibur
Dalam 20 tahun terakhir
ini, feature menjadi alat penting bagi suratkabar untuk bersaing dengan media
elektronika. Reporter suratkabar mengakui bahwa mereka tidak akan bisa
''mengalahkan'' wartawan radio dan televisi untuk lebih dulu sampai ke
masyarakat. Wartawan radio dan TV bisa mengudarakan cerita besar hanya dalam
beberapa menit setelah mereka tahu. Sementara itu wartawan koran sadar, bahwa
baru beberapa jam setelah kejadian, pembacanya baru bisa tahu sesuatu kejadian
-- setelah koran diantar. Wartawan harian, apalagi majalah, bisa mengalahkan
saingannya, radio dan TV, dengan cerita eksklusif. Tapi ia juga bisa membuat
versi yang lebih mendalam (in-depth) mengenai cerita yang didengar pembacanya
dari radio. Dengan patokan seperti ini dalam benaknya, reporter selalu mencari
feature, terhadap berita-berita yang paling hangat. Cerita feature biasanya
eksklusif, sehingga tidak ada kemungkinan dikalahkan oleh radio dan TV atau
koran lain.
Feature memberikan
variasi terhadap berita-berita rutin seperti pembunuhan, skandal, bencana dan
pertentangan yang selalu menghiasi kolom-kolom berita, feature bisa membuat
pembaca tertawa tertahan. Seorang reporter bisa menulis ''cerita berwarna-warni''
untuk menangkap perasaan dan suasana dari sebuah peristiwa. Dalam setiap kasus,
sasaran utama adalah bagaimana menghibur pembaca dan memberikan kepadanya
hal-hal yang baru dan segar.
Awet
Menurut seorang wartawan
kawakan, koran kemarin hanya baik untuk bungkus kacang. Unsur berita yang
semuanya penting luluh dalam waktu 24 jam. Berita mudah sekali ''punah'', tapi
feature bisa disimpan berhari, berminggu, atau berulan-bulan. Koran-koran kecil
sering membuat simpanan ''naskah berlebih'' -- kebanyakan feature. Feature ini
diset dan disimpan di ruang tata muka, karena editor tahu bahwa nilai cerita
itu tidak akan musnah dimakan waktu.
Dalam kacamata reporter,
feature seperti itu mempunyai keuntungan lain. Tekanan deadline jarang,
sehingga ia bisa punya waktu cukup untuk mengadakan riset secara cermat dan
menulisnya kembali sampai mempunyai mutu yang tertinggi. Sebuah feature yang
mendalam memerlukan waktu cukup. Profil seorang kepala polisi mungkin baru bisa
diperoleh setelah wawancara dengan kawan-kawan sekerjanya, keluarga,
musuh-musuhnya dan kepala polisi itu sendiri. Diperlukan waktu juga untuk
mengamati tabiat, reaksi terhadap keadaan tertentu perwira itu.
Singkat kata, berbeda
dengan berita, tulisan feature memberikan penekanan yang lebih besar pada
fakta-fakta yang penting -- fakta-fakta yang mungkin merangsang emosi
(menghibur, memunculkan empati, disampil tetap tidak meninggalkan unsur
informatifnya). Karena penakanan itu, tulisan feature sering disebut kisah
human interest atau kisah yang berwarna (colourful).
Teknik penulisan feature
Jika dalam penulisan
berita yang diutamakan ialah pengaturan fakta-fakta, maka dalam penulisan
feature kita dapat memakai teknik ''mengisahkan sebuah cerita''. Memang itulah
kunci perbedaan antara berita ''keras'' (spot news) dan feature. Penulis
feature pada hakikatnya adalah seorang yang berkisah.
Penulis melukis gambar
dengan kata-kata: ia menghidupkan imajinasi pembaca; ia menarik pembaca agar
masuk ke dalam cerita itu dengan membantunya mengidentifikasikan diri dengan
tokoh utama. Penulis feature untuk sebagian besar tetap menggunakan penulisan
jurnalistik dasar, karena ia tahu bahwa teknik-teknik itu sangat efektif untuk
berkomunikasi. Tapi bila ada aturan yang mengurangi kelincahannya untuk mengisahkan
suatu cerita, ia segera menerobos aturan itu.
''Piramida terbalik''
(susunan tulisan yang meletakkan informasi-informasi pokok di bagian atas, dan
informasi yang tidak begitu penting di bagian bawah -- hingga mudah untuk
dibuang bila tulisan itu perlu diperpendek) sering ditinggalkan. Terutama bila
urutan peristiwa sudah dengan sendirinya membentuk cerita yang baik.
Comments
Post a Comment
thankzzz taz komenxx.....