BAB I
PENDAHULUAN
Psikologi
agama bukanlah ilmu yang pertama kali mempelajari agama. Bahkan jauh sebelumnya
sudah ada disiplin ilmu yang mempelajari aspek-aspek agama secara objektif.
Misalnya, Sejarah Agama-agama di dunia dan Ilmu Sosiologi mempelajari tingkah
laku orang dalam kelompok tanpa memperhitungkan perbedaan kebudayaan yang ada.
Sedangkan Antropologi social lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada
perbedaan kebudayaan yang ada. Baik dalam Sosiologi, maupun Antropologi Sosial,
agama merupakan masalah penting yang tidak dapat dilewatkan begitu saja dalam
penelitian-penelitiannya.
Sumber-sumber
dari Barat mengungkapkan bahwa penelitian secara ilmiah tentang Agama dimulai
dari kajian para Antropolog. Hasil penelitian Frazer & Taylor mengenai
agama-agama primitif dinilai sebagai gerakan awal dari kajian itu. Selanjutnya
sejumlah penelitian juga dilakukan oleh para Sosiolog, dan juga ahli Psikologi
seperti Stanley Hall. Tetapi Edwin Diller Starbuck dipandang sebagai peletak
dasar bagi penelitian modern dilapangan psikologi agama
Perkembangan
Psikologi Agama dapat dibagi menjadi beberapa fase, sesuai dengan waktu
kronologisnya. Psikologi agama sendiri bukanlah cabang ilmu yang berdiri
sendiri dari cabang ilmu induk yang sama, tetapi terdiri dari dua jenis ilmu
yang berbeda asal-usulnya yakni Psikologi dan Agama. Psikologi bersifat
empiris, fenomenyanya nyata dalam tingkah laku yang dapat diprediksi, sedangkan
Agama bersifat non-empiris dan fenomenya didasarkan pada wahyu/sumber-sumber
agama yang tidak dapat diprediksi. Psikologi mempelajari tingkah laku yang
merupakan manifestasi dari jiwa, sedangkan Agama mempelajari kesholehan
penganutnya sebagai manifestasi ketatannya. Tetapi dari sini dapat dilihat
persamaannya, yakni sama-sama mempelajari tingkah laku/behavior, baik psikologi
maupun agama (kesholehan ditunjukkan dengan perilaku sehari-hari).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN PSIKOLOGI AGAMA
a.
Pengertian Psikologi
1. Psikologi
berasal dari perkataan yunani psyce yang artinya jiwa, dan logos
yang artinya ilmu. Jadi secara etimologi psikologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang jiwa, baik mengenai macam-macam gejalanya, prosesnya maupun
latar belakangnya ( ilmu jiwa ).
2. Secara
umum, psikologi diartikan ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia atau ilmu
yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia.
3. Menurut
Dr. Singgih Dirgagunarsa Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia.
4. Menurut
plato dan Aristoteles Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang hakekat jiwa serta prosesnya sampai akhir.
5. Menurut
Clifford T. Morgan Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
dan hewan.
6. Menurut
H. Sumardi, MSI Psikologi adalah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap serta
tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala jiwa yang berada di
belakangnya.
7. Menurut
Ricard H. Thouless Psikologi adalah ilmu tentang tingkah laku pengalaman
manusia.
8. Menurut
Jalaluddin Psikologi adalah imu yang mempalajari gejala jiwa manusia yanng
normal, dewasa, dan beradab.
b.
Pengertian Agama
Agama
sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Banyak
para ahli yang berpendapat tentang arti agama, diantaranya :
1. Menurut
Harun Nassution, arti agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi ( relege,
religare ) dan agama. Dalam bahasa semit al-Din berarti
undang-undang atau hukum. Dalam bahasa Arab, Agama ( Ad-din ) artinya
hukum, ikatan, dan peraturan. Dalam bahasa latin kata religi ( relege
) berarti mengumpulkan dan membaca ;yang kemudian menjadi kata religare
yang berarti mengikat.
2. Agama adalah ikatan yang harus dipegang dan
dipenuhi manusia. Ikatan adalah kekuatan yang lebih tinggi dari manusia yang
tidak dapat ditangkap keduanya, namun mampu mewarnai kehidupan.
3. Menurut
Harun Nassution, Agama harus mempunyai 4 aspek yaitu : (1). Kekuatan gaib (2).
Keyakinan terhadap kekuatan gaib (3). Respon (4). Paham adanya yang kudus.
4. Menurut
Robert H. Thouless, fakta menunjukkan bahwa agama berpusat pada Tuhan atau
Dewa- Dewa sebagai ukuran yang menentukan yang tak boleh diabaikan ( keyakinan
tentang dunia lain ). Ia mendefinisikan agama adalah sikap /cara
penyesuaian diri terhadap dunia yang mencangkup acuan yang menunjukkan
ingkungan lebih luas daripada dunia fiisik yang terikat ruang dan waktu---the
spatio-temporal physical world ( dunia spiritual ).
c.
Pengertian Psikologi Agama
Sehubugan
dengan psikologi agama Jalaludin (1979:77) berpendapat bahwa Psikologi
Agama menggunakan dua kata yaitu Psikologi dan Agama, kedua kata ini memiliki
pengertian yang berbeda. Dimana Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu
yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab, sedangkan
agama adalah kepercayaan manusia (keyakinan), jadi psikologi agama adalah
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
Sedangkan
menurut Zakiah Darajat, (1970:11), psikologi agama adalah meneliti dan
menelaah kehidupan beragama pada seseorang yang mempelajari berapa besar
pengaruh kenyakinan agama itu dalam sikap dan tingkah laku serta keadaan hidup
pada umumnya. Di sampinga itu, psikologi agama jua mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa agama pada seseorang, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
keyakinan tersebut.
Robert H.
Thouless : 25
berpendapat bahwa psikologi agama adalah cabang dari psikologi yang bertujuan
mengembangkan pemahaman terhadap perilaku keagamaan dengan megaplikasikan
prinsip-prinsip psikologi yang dipungut dari kajian terhadap perilaku bukan
keagamaan.
B.
AGAMA SEBAGAI OBJEK ILMU JIWA
a. Obyek Kajian Psikologi Agama
Psikologi
secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan
pikiran (kognisi), perasaan (emotion) dan kehendak (konasi). Gejala tersebut
secara umum memiliki ciri-ciri yang
hampir sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab. Dengan demikian
ketiga gejala pokok tersebut dapat diamati melalui sikap dan perilaku manusia. Namun
terkadang ada diantara pernyataan dalam aktivitas yang tampak itu merupakan
gejala campuran, sehingga para ahli psikologi menambahnya hingga menjadi empat
gejala jiwa utama yang dipelajari psikologi, yaitu pikiran, perasaan, kehendak
dan gejala campuran. Adapun yang termasuk gejala campuran ini seperti
intelegensi, kelemahan maupun sugesti.
Psikologi
berasal dari kata Yunani psyche yang
artinya jiwa. Logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi secara etimologi psikologi
berarti ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai gejalanya, prosesnya
maupun latar belakangnya. Namun pengertian antara ilmu jiwa dan psikologi
sebenarnya berbeda atau tidak sama karena ilmu jiwa adalah ilmu jiwa secara
luas termasuk khalayan dan spekulasi tentang jiwa itu, sedangkan ilmu psikologi
merupakan ilmu pengetahuan mengenai jiwa yang diperoleh secara sistematis
dengan metode-metode ilmiah. Secara umum, psikologi memiliki arti ilmu tentang
jiwa. Namun karena jiwa itu abstrak dan tidak bisa dikaji secara empiris, maka
kajiannya bergeser pada gejala-gejala jiwa atau tingkah laku manusia. Oleh
karena itu karena yang dikaji adalah gejala jiwa atau tingkah laku, maka
terjadilah beberapa pemahaman yang berbeda mengenai definisi tingkah laku itu
sendiri. Ada yang memahami psikologi sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa
manusia yang normal, dewasa dan beradab (Jalaludin dalam Bambang, 2008: 11).
Sementara Robert H Touless mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tingkah laku
dan pengalaman manusia.
Secara umum
psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah
laku manusia sebagai gambaran dan gejala kejiwaan. Dalam bahasa Arab, psikologi
sering disebut dengan ilmun-nafs atau ilmu jiwa. Sedangkan kata nafs dalam
bahasa Arab mengandung arti jiwa, ruh, darah, jasad, orang dan diri (Hamdani
Bakran, 2007: 25).
Agama
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau prinsip kepercayaan
kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau nama lainnya dengan
ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut. Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang
berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini
adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan
berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Perbedaan pengertian agama, menurut J.H Leuba (dalam Bambang, 2008:12), bersumber dari perbedaan pendapat penulis bagaimana mereka menggunakan istilah tersebut dalam penelitiannya. Memang agama sebagai bentuk keyakinan cukup sulit untuk diukur secara tepat. Hal inilah membuat para ahli kesulitan mendefiniskan agama.
Perbedaan pengertian agama, menurut J.H Leuba (dalam Bambang, 2008:12), bersumber dari perbedaan pendapat penulis bagaimana mereka menggunakan istilah tersebut dalam penelitiannya. Memang agama sebagai bentuk keyakinan cukup sulit untuk diukur secara tepat. Hal inilah membuat para ahli kesulitan mendefiniskan agama.
Harun
Nasution merumuskan empat hal yang terdapat dalam agama antara lain :
1. Kekuatan gaib, yang diyakini berada
di atas kekuatan manusia.
2. Keyakinan terhadap kekuatan gaib
sebagai penentu nasib baik dan buruk manusia.
3. Respon penyembahan manusia terhadap
kekuatan gaib.
4. Paham akan adanya sesuatu yang suci,
bisa berupa kekuatan gaib, ajarannya dalam bentuk kitab atau tempat-tempat
tertentu.
Dalam faktanya, agama menunjukkan berpusat pada Tuhan atau
dewa-dewa sebagai ukuran yang menentukan dan tidak boleh diabaikan.
Namun demikian, pada hakikatnya apapun bentuk dan definisi agama yang diberikan para ahli tersebut, jika tidak mewakili dari apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dilaksanakannya berdasarkan norma-norma yang berlaku, maka dengan sendirinya agama akan kehilangan maknanya. Sebagaimana menurut Frankl yang dikutip oleh E. Koswara, bahwa yang paling dicari dan diinginkan oleh manusia dalam hidupnya adalah makna, yakni makna dari segala yang dilaksanakan atau dijalaninya, termasuk dan yang terutama makna hidupnya itu sendiri. Dengan demikian keinginan kepada makna (the will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian manusia dalam melakukan aktivitas prilaku hidupnya, yang dalam hal ini termasuk perilaku ritual keagamaan, yang merupakan psikoterapi terhadap psiko-patalogis manusia dari kehampaan eksistensinya sebagai manusia.
Namun demikian, pada hakikatnya apapun bentuk dan definisi agama yang diberikan para ahli tersebut, jika tidak mewakili dari apa yang dirasakannya, dipikirkannya, dan dilaksanakannya berdasarkan norma-norma yang berlaku, maka dengan sendirinya agama akan kehilangan maknanya. Sebagaimana menurut Frankl yang dikutip oleh E. Koswara, bahwa yang paling dicari dan diinginkan oleh manusia dalam hidupnya adalah makna, yakni makna dari segala yang dilaksanakan atau dijalaninya, termasuk dan yang terutama makna hidupnya itu sendiri. Dengan demikian keinginan kepada makna (the will to meaning) adalah penggerak utama dari kepribadian manusia dalam melakukan aktivitas prilaku hidupnya, yang dalam hal ini termasuk perilaku ritual keagamaan, yang merupakan psikoterapi terhadap psiko-patalogis manusia dari kehampaan eksistensinya sebagai manusia.
C. STUKTUR PENGALAMAN RELIGIUS
Secara
khusus pengalaman religius telah banyak diidentifikasi dengan cara berikut:
kesadaran yang suci, yang membangkitkan kekaguman dan hormat; perasaan
ketergantungan mutlak yang mengungkapkan status manusia sebagai makhluk; arti
menjadi satu dengan yang ilahi, yang persepsi perintah tak terlihat atau dari
kualitas kebenaran permanen dalam skema kosmik; persepsi langsung dari Allah,
perjumpaan dengan kenyataan "sepenuhnya lain"; arti kekuatan
transformasi sebagai suatu kehadiran.
Kadang-kadang,
seperti dalam kasus mencolok dari nabi dari Alkitab Ibrani , pengalaman Allah telah dilihat
sebagai penilaian kritis terhadap kemanusiaan dan sebagai pengungkapan
pemisahan dari yang kudus. Mereka yang mengidentifikasi agama sebagai dimensi
atau aspek titik pengalaman untuk sikap manusia terhadap ideal menyeluruh,
untuk reaksi total untuk hidup, untuk menjadi perhatian utama untuk arti dari
keberadaan seseorang, atau untuk sebuah pencarian untuk daya yang
mengintegrasikan kepribadian manusia.
Dalam semua kasus ini, fakta bahwa sikap dan keprihatinan tersebut
diarahkan ke objek utama yang melampaui keterbatasan eksistensial manusia
adalah apa yang membenarkan keberadaan mereka yang disebut agama. Semua
penafsir sepakat bahwa pengalaman religius melibatkan apa yang terakhir dalam
nilai manusia dan keyakinan keprihatinan di tempat yang paling dalam kenyataan.
Karena
hubungan intim mereka untuk satu sama lain, agama dan moral yang seringkali bingung. Masalahnya
telah dilakukan secara intensif oleh banyak upaya-dimulai dengan risalah Kant
tentang agama, Die Agama innerhalb der Grenzen der blossen Vernunft
(1793; Agama Dalam Batas of Pure Reason)-untuk menafsirkan agama
sebagai dasarnya moralitas atau hanya sebagai insentif untuk melakukan
seseorang tugas. Agama dan moralitas, namun, biasanya dianggap dibedakan;
keprihatinan agama dari seseorang, apa dia dan apa yang dia mengakui sebagai
realitas memuja, sementara moralitas kekhawatiran apa yang orang tersebut dan
prinsip-prinsip yang mengatur hubungan-Nya dengan orang lain. Meskipun umumnya
diakui bahwa agama harus mempengaruhi perilaku manusia di dunia, beberapa telah
mempertahankan bahwa tidak ada moralitas tanpa agama, sementara yang lain
menolak klaim ini dengan alasan bahwa moralitas harus tetap otonom dan bebas
dari sanksi ilahi.
Pengalaman
religius juga dapat dibedakan dari estetika aspek pengalaman
dalam bahwa mantan melibatkan komitmen dan pengabdian kepada yang ilahi
sedangkan yang kedua difokuskan pada apresiasi dan menikmati kualitas, bentuk,
dan pola dalam diri mereka, baik sebagai benda-benda alam atau karya seni .
Semua
pengalaman religius dapat digambarkan dalam tiga elemen dasar: pertama, masalah pribadi, sikap, perasaan, dan
ide-ide dari individu yang memiliki pengalaman, yang kedua, objek
religius diungkapkan dalam pengalaman atau realitas yang dikatakan untuk
merujuk, ketiga, bentuk-bentuk sosial yang timbul dari kenyataan bahwa
pengalaman tersebut bisa dibagi. Meskipun kedua elemen pertama dapat dibedakan
untuk tujuan analisis, mereka tidak dipisahkan dalam pengalaman terpisahkan itu
sendiri. Pengalaman religius selalu ditemukan sehubungan dengan keprihatinan
pribadi dan pencarian diri yang nyata, berorientasi pada kekuasaan yang membuat
hidup suci atau tanah dan tujuan dari semua eksistensi. Berbagai macam
pengalaman individu dengan demikian terlibat, di antaranya adalah sikap
keseriusan dan kesungguhan dalam menghadapi misteri takdir manusia; perasaan
kagum dan menjadi najis ditimbulkan oleh pertemuan dengan kudus, arti kekuasaan
atau orang yang baik mencintai dan kemanusiaan hakim; pengalaman yang
dikonversi atau memiliki perjalanan hidup diarahkan pada ilahi; perasaan lega
yang berasal dari rasa pengampunan ilahi; arti bahwa ada urutan yang tak terlihat
atau kekuasaan yang di atasnya nilai kehidupan semua tergantung; arti menjadi
satu dengan yang ilahi dan meninggalkan diri egosentris.
Dua
konsep yang paling penting yang telah dikembangkan oleh para teolog dan filsuf
untuk interpretasi yang ilahi adalah transendensi
dan imanensi , masing-masing dimaksudkan untuk
mengekspresikan hubungan antara realitas ilahi dan terbatas.
Transendensi berarti melampaui batas atau melebihi batas; imanensi berarti yang
tersisa di dalam atau yang ada dalam batas-batas batas. Yang ilahi dikatakan
melampaui kemanusiaan dan dunia jika dilihat sebagai berbeda dari kedua dan
tidak sepenuhnya identik dengan baik; yang ilahi dikatakan imanen ketika
dipandang sebagai seluruhnya atau sebagian identik dengan realitas beberapa di
dalam dunia, seperti kemanusiaan atau tatanan kosmik. Konsepsi yang ilahi sebagai
impersonal tatanan suci merupakan
ekstrim imanensi karena agar dianggap sebagai sepenuhnya dalam dunia dan tidak
sebagai penetapan itu sendiri dari luar. Konsepsi yang ilahi sebagai individu
atau diri merupakan ekstrim transendensi, karena Allah dianggap sebagai tidak
sepenuhnya identik dengan baik dunia atau realitas terbatas di dalamnya.
Beberapa pemikir telah menggambarkan ilahi sebagai sepenuhnya transenden atau
"sepenuhnya lain" dari realitas terbatas, beberapa telah
mempertahankan imanensi total yang ilahi, dan yang lain mengklaim bahwa kedua
konsep ini dapat diterapkan dan karena itu bahwa kedua karakteristik tidak
mengecualikan satu sama lain .
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Agama bagi sebagaian orang merupakan bentuk ungkapan moral yang paling
tinggi, yang selalu menjadi kebutuhan ideal bagi manusia.Karena agama merupakan
pandangan hidup yang sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari dirinya.Agama
juga memberikan semesta simbolik bagi manusia untuk mengetahui makna dibalik
kehidupannya, serta memberikan penjelasan secara komprehensif mengenai berbagai
pertanyaan yang tak terjawab, karena agama merupakan suatu kepercayaan dalam
bentuk spiritual.
Agama bagi manusia
merupakan kekuatan yang dapat mengantarkan manusia itu sendiri, supaya ia dapat
mencapai kesempurnaan dan dapat memberikan penjelasan secara menyeluruh tentang
realitas kematian, penderitaan, tragedi serta segala sesuatu yang berkaitan
erat dengan makna hidupnya.
Oleh karena itu eksistensi rasa agama bagi manusia pada hakikatnya adalah suatu pengalaman dari keyakinan yang difahaminya, sehingga agama dapat merefleksi pada diri pemeluknya yang berdimensi Ketuhanan, psikologis, dan sosiologis. Dimensi Ketuhanan tersebut merupakan sumber nilai kebenaran dan kebaikan, sedangkan dimensi psikologis adalah sisi lain dari keyakinan seseorang yang sangat individual, adapun dimensi sosiologis adalah bentuk pengalaman manusia dari suatu yang telah diyakininya guna membentuk sistem sosial lingkungan yang lebih bermoral.
Oleh karena itu eksistensi rasa agama bagi manusia pada hakikatnya adalah suatu pengalaman dari keyakinan yang difahaminya, sehingga agama dapat merefleksi pada diri pemeluknya yang berdimensi Ketuhanan, psikologis, dan sosiologis. Dimensi Ketuhanan tersebut merupakan sumber nilai kebenaran dan kebaikan, sedangkan dimensi psikologis adalah sisi lain dari keyakinan seseorang yang sangat individual, adapun dimensi sosiologis adalah bentuk pengalaman manusia dari suatu yang telah diyakininya guna membentuk sistem sosial lingkungan yang lebih bermoral.
Psikologi agama
pada dasarnya, secara komprehensip membahas dan mengkaji tentang
fenomena-fenomena keadaran dan pengalaman psikologis atau tentang rasa
keagamaan manusia, yang bertujuan dan berfungsi sebagai penyadaran
psikopatalogis manusia dewasa ini.Yakni bagaimana agama dalam hal ini, memiliki
peran dan fungsi untuk merehabilitasi, mengantisipasi, dan mengentaskan
permasalahan-permasalahan kejiwaan manusia yang diakibatkan oleh pengaruh
perkembangan sosio-kultur yang harmonis dengan sebuah pendekatan psikologis.
DAFTAR PUSTAKA
- Agus M.Harjana, Perkembangan kepribadian dan Keagamaan,
Yogyakarta:Kanisius,
cet.I,1994.
- Asep Abdullah, 2008, Dinamika Psikologi Agama,
- "Agama
pengalaman". Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica
Online.
Encyclopædia
Britannica Online.
- Bambang Syamsul Arifin, 2008, Psikologi Agama, Bandung :
Pustaka Setia.
- Daradjat, Zakiah, Prof. Dr. 1991. Ilmu Jiwa Agama.
Jakarta: Bulan Bintang
- Encyclopædia
Britannica Inc., 2012. Encyclopædia Britannica Inc, 2012.
Web. Web. 18
Jul. 2012
18 Juli 2012
- Hamdani Bakran Adz-Dzakiey, 2008,
Psikologi Kenabian : Menghidupkan Potensi
- Jalaluddin, H, Prof, Dr. 2008. Psikologi
Agama. Jakarta: Grafindo Persada
- Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
- M. Ustman Najati, 2002, Jiwa dalam
Pandangan Para Filosof Muslim , Bandung : Pustaka Hidayah.
- Nurcholish Majid, Islam, Dokrin,
Peradaban, Jakarta: Yayasan Paramadina, cet II,
- Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Bandung: Mizan,1996.
- Pepribadian dalam Diri, Yogyakarta :
Al Manar.
- Ramayulis, H, Prof, Dr. 2007. Psikologi Agama. Jakarta:
Kalam Mulia
- Sou’yb, Yoesoef. 1985. Orientalisme dan Islam.
Jakarta: Bulan Bintang
- Robert W.Crapps, An Introduction to Psycologi of
Religion, bagian III, alih bahasa.
1992.
Comments
Post a Comment
thankzzz taz komenxx.....