Jauh sebelum Waduk Darma dirintis
oleh Belanda pada tahun 1922. Keberadaan Waduk Darma pada masa para wali datang
ke Darma sudah merupakan situ/danau kecil dan sebagian merupakan kawasn
pesawahan dan pemukiman penduduk serta merupakn titik temua antara desa Darma,
Jagara, Sakerta, Paninggaran, Cipasung, Kawah Manuk dan Parung. Di
tengah-tengah Waduk Darma terdapat mata air Cihanyir, di sebelah utara tampak
berdiri sosok keperkasaan gunung Ciremai.
Menurut kepercayaan masyarakat
sekitar, dahulu saat para wali masih hidup, Waduk Darma merupakan bendungan
atau situ yang cukup besar yang di buat oleh mbah Satori (mbah dalem Cageur).
Adapun air yang di pakai untuk mengairinya berasal dari mata air Cihanyir yang
berada tepat di tengah Waduk Darma dan dari hulu sungai Cisanggarung.
Tujuan mbah Dalem Cageur (Embah
Satori) membuat bendungan/Situ itu, adalah untuk tempat bermain Putranya yaitu
Paneran Gencay, selain dari itu mbah Dalem Cageur memiliki hobi memelihara
ikan.
Dalam pembuatan bendungan dan
Situ tersebut mbah Dalem Cageur tidak sedikit mengerahkan tenaga dari pada
kurawanya sehingga memerlukan jamuan atau hidangan yang cukup banyak untuk
menjamu para pekerjanya. Konon menurut cerita untuk menanak nasi itu mbah Dalem
Cageur memilih salah satu bukit yanga berada di sebelah desa Darma (Desa Kawah
Manuk) sehingga sampai saat ini tempat bekas menanak nasi itu di beri nama
"bukit Pangliwetan".
Menurut saksi-saksi yang masih
hidup tempat-tempat bekas menjamu para pekerja dalam pembuatan situ, sampai
saat ini masih ada peninggalannya berupa onggokan tanah yang berupa congcot
(nasi tumpeng). Herannya onggokan tanah itu sejak dahulu kala sampai sekarang
tidak pernah hilang walaupun sudah beberapa kali dirusak manusia dan digenangi
air selama berpuluh-puluh tahun.
Setelah selesai pembuatan situ,
mbah Dalem Cageur membuat sebuah perahu yang terbuat dari papan kayu jati
dengan ukuran yang cukup besar, ukurannya menurut penduduk yang pernah melihat
atau menginjak pada saat Waduk Darma disurutkan pada tahun 1972 memperkirakan panjangnya
20 x 7 meter. Perahu itu dibuat untuk bermain-main anaknya ( Pangeran Gencay).
Saking girangnya Pangeran Gencay tidak siang tidak malam bersama rekan-rekannya
terus bermain di atas perahu itu. Sementara para penduduk menyaksikan di
sekeliling situ sambil menabuh berbagai gamelan. Konon tempat penduduk
memainkan gamelan itu di beri nama "Muncul Goong".
Takdir tak dapat dipungkiri,
malang tak dapat di hadang, pada satu malam tepat pada saat bulan purnama
Pangeran Gencay bersama para pengasuhnya yang sedang bersenang-senang menaiki
perahu buatan ayahnya karam/tenggelam di tengah-tengah situ. Jerit tangis dan
ratapan tak dapat di tahan, kedukaan mbah Dalem Cageur tak dapat di lukiskan,
sehingga saking kecewanya, maka situ itu atas perintah Embah Dalem Cageur harus
di bobolkan dan tidak boleh diari lagi karena kelak akan membahayakan anak
cucu.
Setelah Jenasah Pangeran Gencay
di temukan dan dibawa ke suatu tempat bernama "Munjul Bangke" (Munjul=
tempat yang menonjol. Bangke= Bangkai) lalu dimakamkan di desa Jagara. Adapun
tempat tenggelamnya Pangeran Gencay oleh penduduk di beri nama "Labuhan
Bulan" karena perahunya tenggelam tepat pada saat bulan purnama (Labuhan=
kalebuh, kalebuh= tenggelam).
Pada jaman Belanda seluruh tanah
yang akan di jadikan Waduk oleh Belanda di beli secara tunai (th 1939) dengan
perhitungan. Tanah Rakyat di beli seharga 100%, Tanah Kasikepan (Tanah kekeyaan
Desa) 2/3%, Sedangkan Tanah Bengkok Hanya di beli seharaga 1/3% dari harga
normal saat itu.
Berhubung pasukan pendudukan
Jepang menguasai Indonesia, maka proyek ini dihentikan sementara. Baru pada
tahun 1954, Presiden Soekarno turun tangan untuk melanjutkan proyek pembuatan
Waduk Darma. Seluruh pembebasan tanah dan pengerjaan diselesaikan hingga
diresmikan pada tahun 1961.
(sumber : www.wadukdarma.com)
Comments
Post a Comment
thankzzz taz komenxx.....